Mohon tunggu...
Rully Moenandir
Rully Moenandir Mohon Tunggu... Administrasi - TV and Movie Worker

Seorang ayah dari 4 anak yang bekerja di bidang industri televisi dan film, serta suka sekali berbagi ilmu dan pengalaman di ruang-ruang khusus sebagai dosen maupun pembicara publik. Baru buat blog baru juga di rullymoenandir.blogspot.com, setelah tahun 2009 blog lamanya hilang entah kemana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

New Normal di Sekolah, Ini Cara Membuat Face Shield Bermodal 1000 Perak untuk Anak

2 Juni 2020   04:52 Diperbarui: 3 Juni 2020   21:56 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun demikian, keputusan untuk "tidak relanya" mereka melepas anak-anaknya ke sekolah, di antaranya karena mereka belum yakin soal kesiapan sekolah dalam "membatasi" pergerakan siswa, sehingga khawatir anaknya akan tertular virus yang makin tinggi tingkat penularannya ini.

Sumber: shutterstock
Sumber: shutterstock
Jaminan akan penjagaan jarak, tingkat higienitas, kebersihan fasilitas, interaksi di kantin, pedagang sekitar sekolah, serta perilaku anak saat di sekolah menjadi pertanyaan besar bagi para orangtua dalam menghadapi new normal bidang pendidikan saat ini. 

Sampai-sampai Petisi kepada Presiden Jokowi dan Nadiem Makarim selaku Mendikbud ramai didukung. Hingga tulisan ini dibuat, petisi tadi sudah ditandatangani hampir 100.000 orang (petisi di sini).

Namun, yang paling dikhawatirkan adalah sekolah setingkat Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD), di mana tingkat kedewasaan, dan disiplin masih sangat rendah jika dibandingkan tingkat menengah, lanjutan, dan kuliah.

Perilaku anak-anak ini, dinilai sangat rentan praktik penularan virus. Bermain, berinteraksi, ataupun latihan motorik di masa pertumbuhan ini justru dipandang sangat riskan dan bisa jadi bumerang ketika mereka dilepas tanpa pengawasan yang ketat seperti di rumah bersama para orangtua.

Kesadaran akan kapasitas guru yang tidak mungkin mengawasi anak satu per satu, sampai dengan menyikapi keberadaan fasilitas "darurat" dan berhubungan dengan air dan sabun untuk cuci tangan anak juga menjadi isu yang kuat dubahas di berbagai grup orangtua.

Kekhawatiran akan bak cuci tangan yang "mungkin" akan ditempatkan dekat pintu masuk kelas, sangat riskan akan kondisi basah dan licin akibat anak-anak ini justru akan bercanda atau tidak rapi menggunakannya layaknya anak yang sudah berumur 12-13 tahun ke atas.

Selain bahaya untuk anak, juga sepertinya justru akan menambah PR untuk guru itu sendiri untuk menertibkan atau bahkan membersihkan, karena terbatasnya pesuruh di sekolah untuk membersihkan hal yang sama di semua depan pintu kelas pada saat bersamaan.

Sumber: Reuters
Sumber: Reuters
Terlebih saat diberitakan bahwa Korea Selatan, pemerintahnya kembali menganulir putusan kebijakan sejenis karena justru mengakibatkan kembalinya virus ini merajalela dan khawatir sekolah juga akan menjadi cluster penyebaran virus baru, yang sampai ini belum ditemukan obat/vaksinnya (baca di sini). 

Karena oleh banyak orang tua di sini, Korea Selatan dianggap jauh lebih maju, disiplin, dan memiliki fasilitas di atas negara kita tercinta, Indonesia, akhirnya, kekhawatiran akan berbagai hal tersebut makin menjadi-jadi.

Banyak orangtua bahkan rela anaknya tidak naik kelas, agar anaknya tetap di rumah dan aman dari virus, dan berfikir kalau anaknya kena virus gara-gara sekolah, yang tanggung jawab siapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun