Sejak diberlakukannya #BelajarDariRumah dan #BekerjaDariRumah atau #StudyFromHome dan #WorkFromHome di wilayah DKI Jakarta mulai 16 Maret 2020 lalu, otomatif seluruh kegiatan belajar dan bekerja keluarga kami juga menyesuaikan kondisi kebijakan tadi.
Berbagai kegiatan belajar mengajar anak-anak, baik pembelajaran maupun tugas-tugasnya, saya sebagai orang tua jadi terlibat langsung; yang biasanya paling hanya mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) atau memberikan bimibingan lain melalui buku-buku Bank Soal untuk dijadikan latihan tambahan yang kemudia diperiksa dan dibahas bersama jika ada jawaban yang salah. Sedangkan, untuk pemberian materi, betul-betul 95% mengandalakan sekolah dan memfasilitasi anak untuk membaca buku tambahan atau melalui internet (seringnya via Youtube).
Dan, kali ini orang tua di rumahlah yang menjadi ujung tombak dalam mengajarkan materi-materi di sekolah tadi langsung kepada si anak...
Tidak heran, lepas 1 minggu anak-anak mereka belajar di rumah, banyak sekali keluhan-keluhan yang muncul di media sosial; baik itu mengeluh soal anakanya yang tidak mau diajari orang tuanya, anak yang sulit sekali mengerti saat diberikan materi, sampai orang tuanya "hampir" menyerah karena malah sering emosi saat mengajar anaknya karena berbagai hal. Yang kalau dipikir-pikir, lucu juga kalau orang tuanya sampai "menyerah", kan ini anaknya sendiri ya? Titipan terbesar Tuhan untuk keluarga mereka, insan yang kelak akan menjadi penyelamat orang tuanya untuk menuju kehidupan yang sebenarnya. Alih-alih, malah banyak orang tua yang berdoa "liburan" ini segera berakhir dan menyerahkan tugas mendidik ini kepada guru-guru di sekolah kembali, bahkan ada yang berkata mereka rela iuran sekolah naik, karena sudah merasakan bahwa mengajar itu sulit dan berat karena guru-guru tadi tidak hanya menghandle anak-anak mereka tapi juga puluhan anak lainnya dengan karakternya masing-masing. Dan itu berlaku di semua jenjang !! orang tua murud TK - SD - SMP bahkan setingkat SMA menjadi momok baru dibawah atap rumah di masa "libur" Corona saat ini.
====
Seiring berjalannya waktu, #VirusCorona yang kian hari makin mengkhawatirkan justru memaksa waktu "libur" terus diperpanjang. Bebebrapa sekolah swasta malah sudah ketok palu untuk menentukan waktu kembali aktif bersekolah adalah saat masa tahun ajaran baru. Segala bentuk penilaian untuk kenaikan kelas dibuat pro-rata dengan menggunakan nilai 3 bulan terakhir, serta segala bentuk pendaftaran siswa baru dan kelulusan dibuat berdasar prestasi rata-rata dan patokan nilai tertentu untuk bisa masuk atau lulus dari sekolah tadi. Sedangkan untuk Sekolah-sekolah negeri, tetap mengikuti aturan Pemerintah dan Dinas Pendidikan setempat yang masa perpanjangannya dilakukan per 2 minggu.
Para orang tua yang tadi mengeluh-pun, akhirnya "mati kutu" dan terpaksa berpikir keras bagaimana "menaklukkan" darah dagingnya tadi agar bisa "didekati" dan dibimbing agar tetap bisa dan mau belajar dibawah bimbingan orang tuanya. Beberapa orang tua yang aktif dan mau "belajar", sudah semakin "mulus" kondisinya. Pandemi Corona-lah yang akhirnya mampu menempatkan cermin dalam kehidupan berkeluarga (terutama hubungan orang tua dan anak), yang selama ini terlalu "naif" karena kasih sayang orang tua kepada selalu dinilai dengan memberikan materi kepada anak, menghidupi mereka dengan memberikan segalanya, akhirnya bisa menjadi titik balik kembalinya nilai kasih sayang dan komunikasi tadi yang selama ini ternyata minim diterima sang anak sehingga terjadi jarak bahkan antipati antara anak dan orang tuanya.
Padahal, banyak para nabi yang mulia, mencontohkan nilai-nilai kasih sayang bisa tetap tercurah kepada anak disela kesibukan mereka menyebarkan ajaran kebaikan dari Tuhan, disela mereka menjadi pemimpin kaum atau bahkan negara yang besar, namun nilai kasih sayang itu tetap bisa dirasakan anak-anak mereka.
====
Tidak terkecuali saya dan keluarga. Rasanya sejak anak pertama kami lahir, saya sudah berusaha maksimal meluagkan waktu dan mencurahkan kasih sayang saya, baik secara lisan maupun perbuatan. Diluar memberi materi dan mencukupi kebutuhan anak-anak, kami pun punya "tradisi" khusus untuk kami lakukan dalam internal keluarga kami. Gaya salam yang tidak hanya anak-anak yang mencium punggung tangan orang tua, tapi kami sebagai orang tua-pun mencium balik punggung tangan mereka setiap kali bersalaman sebagai simbol terima kasih kami atas kelakuan baik mereka, perbuatan mereka yang membanggakan, serta doa-doa mereka untuk bekal kami kelak.