Mohon tunggu...
Rully Moenandir
Rully Moenandir Mohon Tunggu... Administrasi - TV and Movie Worker

Seorang ayah dari 4 anak yang bekerja di bidang industri televisi dan film, serta suka sekali berbagi ilmu dan pengalaman di ruang-ruang khusus sebagai dosen maupun pembicara publik. Baru buat blog baru juga di rullymoenandir.blogspot.com, setelah tahun 2009 blog lamanya hilang entah kemana.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Debat Cawapres Ungguli Debat Capres

19 Maret 2019   09:26 Diperbarui: 19 Maret 2019   10:53 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah kenapa malam debat cawapres kemarin itu ngantuknya bukan main.
Baru selesai segmen satu, tidak terasa ketika terbangun sudah waktunya untuk salat subuh, itu berarti pas tayang commercial break saya tertidur pulas.

Sayang, sediki sedih, gara-gara tidak menonton langsung debat Cawapres 2019, yang kali ini Trans Corp sebagai Official Broadcasternya grup yang menaungi Trans Tv, Trans 7, CNN Indonesia, CNBC Indonesia, dan detikcom, yang sudah tidak asing didengar masyarakat Indonesia.

====

Debat yang ditunggu banyak orang (termasuk saya tentunya), karena ini adalah pertama kalinya dalam sejarah bangsa Indonesia dimana Calon Wakil Presiden yang sejak dulu dianggap sebagai "hiasan" dalam pemerintahan pendamping Presiden, kali ini diperhitungkan sebagai "sesuatu" yang dianggap bernilai dan punya "power" dalam struktur pemerintahan di Indonesia.

Arsip Kompas
Arsip Kompas
Tepatnya, ketika masa kepemimpinan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Jusuf Kalla (JK), peran Wakil Presiden terlihat dengan jelas. Jika dahulu posisi Wapres hanya "manggu-manggut" terhadap semua kebijakan yang dilakukan Presiden, tidak terjadi pada kolaburasi pasangan SBY-JK. 

Selain terlihat harmonis dalam ritme kerja pemerintahan, terlihat saling mengisi dalam pelaksanaan kerja, namun kedua pasangan ini juga terlihat "perang" dalam mengambil beberapa keputusan. 

Perang yang berarti "saling koreksi" sebelum akhirnya keputusan tadi disahkan dan berdampak langsung di masyarakat sebagai stakeholder negara. Sebuah "perang" yang bagus dalam sebuah tatanan kenegaraan tentunya, jauh lebih baik dibanding budaya "yes boss" atau "asal bapak senang", yang selama ini melekat pada sistem pemerintahan kita, baik di pusat, apalagi di daerah.

Waktu terus berjalan, efek "kerja" cawapres juga terus berkembang. Jaman pemerintahan SBY-BUDI juga terlihat hal yang sama. Wapres Budiono yang merupakan akademisi sekaligus praktisi keuangan, berkali-kali silang pendapat dengan SBY mengenai arah kebijakan ekonomi Indonesia saat itu. 

Walau sebelumnya dicemooh banyak partai yang berseberangan (bahkan juga oleh partai pendukung), masukan Budiono yang akhirnya disepakati SBY berdampak baik. 

Tidak ayal, "pertentangan" inipun terus berlanjut hingga pemerintahan Jokowi-JK saat ini. "Pertentangan" tadipun tidak hanya terjadi pada "pasangan" saja, bahkan pada level "pembantu" alias menteri. Jika level "pembantu" ini dahulu sangat takut dengan sosok "majikan", di pemerintahan kali ini para "pembantu" ini justru mendapat porsi lebih untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka sesuai dengan kapasitas kementereriannya atau keilmuannya, terkait kebijakan-kebijakan yang direncanakan Pemerintah dalam hal ini Presiden.

Arsip Kompas
Arsip Kompas
Presiden, yang dahulu dianggap "Maha Tahu" dan "Maha Benar", kali ini ditempatkan sebagai "Expert Planner" yang memang butuh masukan dari banyak sisi terkait Rencana-rencana Dahsyatnya kedepan. 

Layaknya di sebuah perusahaan, seorang Bussiness Development Leader, punya banyak asisten yang membantu dalam mengembangkan sebuah rencana pengembangan perusahaann kedepannya, karena jelas seorang Planner memang punya visi misi besar, punya mimpi besar, namun jika tidak ditungjang data atau visibilitas real, pasti akan berantakan atau justru mandeg semua perencanaan yang tadi sudah direncanakan.

 Walau bukan karena rencana ayang buruk, tapi rencana yang tidak visible, terkait kemampuan, dan kondisi negara/perusahaan saat itu yang dilihat dari banyak faktor.

Itulah mengapa saya menunggu-nunggu sekali debat Cawapres ini. Ingin rasanya menjadi saksi sejarah, karena pertama kalinya ini terjadi di Indonesia. Namun, apadaya, badan dan mata yang lelah ini memaksa saya untuk menonton siaran ulangnya via TVOD (Television On Demand) di PayTV langganan di rumah.

====

Karena Segmen 1 saya masih sempat nonton, tebakan saya sepertinya benar setelah kemudian saya tonton ulang debat ini.

Setelah sebelumnya ramalan demi ramalan, perkiraan demi perkiraan, atau bahkan "kepastian" demi "kepastian", soal debat cawapres yang berkembang di masyarakat sebelumnya, RONTOK SUDAH...Ramalan yang lebih banyak ditujukan untuk Cawapres KH. Ma'ruf Amin yang terlihat "loyo" saat mendampingi Capres Joko Widodo di Debat Pertama Capres 2019 karena dinilai sudah Tua, Pikun, Kyai yang cuma bisa ceramah agama, dll ini justru membuat masyarakat terperangah. Banyak pula ramalan yang saya pribadi menilai sangat "sinis", "kasar", dan berlebihan menilai persiapan "kubu" yang berseberangan dalam menghadapi debat ini.

Jauh berbeda dengan Cawapres Sandiaga Uno, yang memang "sudah bawaan" yang tetap terlihat segar, bugar, ganteng, matching outfit dengan body atletisnya, lembutnya bahasa tubuh ditambah senyum dan lirikan matanya yang memnbuat para milenial terpeleset, atau mungkin para emak-emak ikut teriris jarinya jika sedang mengiris bawang saat debat berlangsung.

Ma'ruf Amin, yang membuka sambutan awal dengan tetap memuji hasil kerja pasangan pemimpin negara sebelumnya, Jokowi-JK dengan mengatakan usaha sudah maksimal dan berdampak baik walau belum sempurna, dinilai sangat bijak setelah diembel-embeli akan meneruskan ikhtiar yang sudah dilakukan, menuntaskan, apa yang sudah dan belum selesai dikerjakan, demi kemaslahatan rakyat. 

JKN (jaminan kesehatan nasional), PKH (program keluarga harapan), beasiswa (KIP) akan berjalan dan ditingkatkan terus. Apapun masalahnya, rakyat jangan takut jangan sedih dan jangan berhenti bermimpi karena Negara sudah hadir untuk mendampingi rakyatnya, begitu juga soal lapangan kerja, karena Balai Latihan Kerja sudah berjalan dengan baik, rakyat bisa bekerja secara mandiri tidak tergantung lagi dengan lowongan-lowongan kerja.

Sandiaga Uno sendiri, yang memanggil Ma'ruf Amin dengan "Abah", memulai dengan mengucapkan selamat ulang tahun karena memang beberapa hari sebelumnya baru bertambah usia. Sama seperti debat sebelumnya, Sandiaga Uno mengedepankan hasil kunjungannya di 1500 lokasi selama beberapa bulan ini untuk menjaring aspirasi rakyat dan merumuskan solusi bagi masalah-masalah tadi. 

Hasilnya, tim merumuskan bahwa untuk pendidikan ada 2 solusi yakni meningkatkan kualitas pendidikan dengan memastikan status guru tetutama kesejahteraan guru honorer, memberhentikan sistem UN dan mnegganti dengan penelusuran minat dan bakat. Untuk kesehatan, menyelesaikan kisruh sistem BPJS dalam 200 hari pertama memimpin, memulai program olahraga untuk seluruh rakyat. 

Di bidang tenaga kerja, akan fokus pada OK OCE Nasional dengan membuka 2juta wirausaha baru, dan "Rumah Siap Kerja" dengan pelatihan kerja. Bidang sosial, membidik tingkat kemiskinan dengan membuat basis data terpadu. Sedang untuk budaya, akan memperkuat akar kebhinekaan kita dengan meningkatkan toleransi di masyarakat.

====

Dalam tulisan saya kali  ini, saya tidak akan membahas detail isi debat karena saya pikir sudah banyak berseliweran analisa debat baik dari pakar, praktisi, maupun masyarakat yang merasakan langsung hasil-hasil, maupun visibilitas rencana yang dipaparkan para cawapres. Yang akan saya lebih soroti adalah sikap dan etika yang terjadi pada debat kali ini.

Sejak pembahasan awal, Ma'ruf Amin sudah memperlihatkan "kematangan" dalam bersikap. Tuturan kata yang jelas, sitematis, terlontar dari sosok kakek yang sudah berumur. 

Sosok yang terbiasa menyampaikan ceramah berjam-jam didepan bayak orang, menghapal ribuan ayat, dan menyimpulkan dengan berlandaskan data ini, membuat semua orang terkecoh hanya karena saat debat Capres pertama saat itu, Ma'ruf Amin terlihat mengeluarkan pendapatnya hanya sedikit sekali, jauh jika dibandingkan Sandi yang terlihat "berbalas pantun" dengan Capres Prabowo.

Setiap kali mematahkan jawaban dari paparan Sandiaga, Ma'ruf tidak melakukannya secara "kasar" dan "brutal" walau yang dipaparkan Sandi ternyata sangat lemah dan tidak menguasai kondisi yang saat ini sudah berjalan. Kondisi yang berbanding terbalik dengan langkah yang dilakukan Capres Joko Widodo ketika berhadapan dengan Capres Prabowo (baca disini). 

Terlihat sekali Jokowi terbawa "nafsu" untuk "menikam" Prabowo hingga "mati kutu" lewat statement-statementnya yang dinilai kubu Prabowo merupakan hal yang menyerang secara pribadi, sebuah hal yang sejak awal termasuk LARANGAN dalam aturan debat oleh KPU (komisi Pemilihan Umum) yang sudah disepakati oleh kedua kubu tentunya.

 Sesuatu yang "sudah terbaca" ketika Jokowi sebelumnya di beberapa kesempatan mengatakan "Saya menyampaikan apa adanya. Ya kan, masa saya diem terus. Saya suruh diem terus? Saya suruh sabar terus? Ya, ndak dong. Saya sekali-kali dong," kata Jokowi menanggapi "serangan" yang dilakukannya tadi.

Sandiaga sendiri, terlihat "keukeuh" akan rencana yang dipaparkan, walau akhirnya terkesan "berjualan" program saja. Apalagi, apa yang sudah terjadi di wilayah DKI Jakarta dimana beliau menjadi Wakil Gubernur saat itu, berbagai program pemerintah yang sudah berjalan jauh sebelum masa kepemimpinan Anies-Sandi sudah dilakukan, berjalan baik dan disempurnakan oleh Jokowi, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), dan Djarot, tiba-tiba "berubah nama" dengan modifikasi yang berakar pada program OK OCE. 

Tranportasi yang dulu "berbau" TRANS saja yang berakar pada "TRANS JAKARTA" (mis: Trans Mini, sebagai pengganti metro mini dan kopaja, Trans Jabodetabek sebagai bus kota satelit yang punya akses sama terhadap Busway, Termasuk kemudian angkutan kota), kemudian diarahkan menjadi 1 kesatuan menjadi OK OTrip yang sejak dilakukan percobaan pertama selalu gagal hingga akhirnya di perpanjangan uji coba ke 6 diganti namanya menjadi JAK LINGKO (baca disini), padahal rencana peleburan seluruh angkutan diluar Bus Trans Jakarta sudah direncanakan oleh Sutiyoso yang prosesnya secara bertahap terus berjalan, tanpa diembel-embeli nama lain selain berbau nama "TRANS" yang secara branding akan memperkuat kesatuan sistem transportasi yang sudah berjalan baik ini. 

Termasuk BLK (Balai Latihan Kerja) milik Pemprov DKI yang sudah berjalan dan beragam jenisnya, justru "didomplengi" dengan program OK OCE, sehingga dalam setiap promonya (pendaftaran peserta), nama OK OCE pun turut muncul, padahal, sebelum-sebelumnya tidak ada perubahan nama BLK, kecuali pengembangan program dan sistem pendidikannya yang terus diperbaharui agar menjadi lebih baik dan berdampak lebih cepat baik bagi peserta maupun lingkungannya.

Hal yang sebetulnya sangat disayangkan dari Sandiaga, yang merupakan pengusaha besar yang seharusnya bisa memberikan jawaban lebih cerdas dan gamblang, dibanding hanya mengaplikasikan "hapalan" dari hasil "latihan" debat yang disiapkan oleh Timses. Kebijakan dan pengembangan jawaban dari seorang pemimpin perusahaan besar seharusnya bisa jauh lebih baik dari itu menurut saya. 

Termasuk dalam menyampaikan "keluhan" beberapa masyarakat saat "kunjungannya" tadi dalam debat, yang digeneralisir sebagai "keluhan mayoritas" untuk dijadikan sebagai masalah, yang akhirnya melupakan usaha dan hasil yang sudah diraih baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Padahal sebelumnya, dalam debat Capres, sudah disampaikan oleh Capres Prabowo, yang akhirnya setelah dijawab oleh Capres Jokowi, akhirnya Prabowo justru "mengalah" dengan mengakui hasil pemerintahan berjalan sebagai sebuah prestasi.

====

Debat pun, terus berjalan dan saya tonton sampai habis. Hingga peryataan penutup diucapkan oleh para Cawapres.

Jika Ma'ruf Amin membuka penyataan dengan menyelipkan bahasa arab yang memang sering terlontar dan memang berkutat dalam lingkup keagamaan, Sandiaga uno juga yang kini digelari "santri milenial" bahkan "ulama" juga tidak mau kalah, ketika menyampaikan pidato penutup mengutip kalimat doa yang biasa digunakan oleh Nahdliyin dan Muhammadiyah, "Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariiq, billahi fii sabililhaq fastabiqul khairat, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," tutup Sandi.

Arsip Kompas
Arsip Kompas
Akhirnya, debat Cawapres dengan tema PENDIDIKAN, KESEHATAN, KETENAGAKERJAAN, SOSIAL DAN BUDAYA yang dihadiri oleh Capres Jokowi namun tanpa kehadiran Capres Prabowo ini, saya nilai lebih baik dari Debat Sebelumnya. Ma'ruf Amin membuat berbagai macam kejutan dengan "hapalan"nya yang memang sudah biasa dilakukan dengan mneghapal ayat-ayat dalam agama Islam, kuat dalam menganalisa pertanyaan-pertanyaan berdasar data yang ada seperti jika banyak jamaah-jamaah juga bertanya kepada beliau. 

Sandiaga juga OKE, karena "gesture"nya seperti biasa baiknya saat kita melihat beliau "berkunjung" ke ribuan wilayah di Indonesia, ditambah "attitude" nya dalam menghadapi orang yang jauh lebih tua sebagai lawan debatnya. 

Tontonan yang lagi-lagi sebuah tontonan baru dan segar, jauh dari perkiraan-perkiraan atau ramalan-ramalan yang beredar di masyarakat. Semoga debat-debat yang sudah berjalan menjadi sebuah pertimbangan dalam memutuskan pilihan kita semua saat hari mencoblos nanti, walau masih ada 1 kali lagi debat akhir di bulan april nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun