Di bidang tenaga kerja, akan fokus pada OK OCE Nasional dengan membuka 2juta wirausaha baru, dan "Rumah Siap Kerja" dengan pelatihan kerja. Bidang sosial, membidik tingkat kemiskinan dengan membuat basis data terpadu. Sedang untuk budaya, akan memperkuat akar kebhinekaan kita dengan meningkatkan toleransi di masyarakat.
====
Dalam tulisan saya kali  ini, saya tidak akan membahas detail isi debat karena saya pikir sudah banyak berseliweran analisa debat baik dari pakar, praktisi, maupun masyarakat yang merasakan langsung hasil-hasil, maupun visibilitas rencana yang dipaparkan para cawapres. Yang akan saya lebih soroti adalah sikap dan etika yang terjadi pada debat kali ini.
Sejak pembahasan awal, Ma'ruf Amin sudah memperlihatkan "kematangan" dalam bersikap. Tuturan kata yang jelas, sitematis, terlontar dari sosok kakek yang sudah berumur.Â
Sosok yang terbiasa menyampaikan ceramah berjam-jam didepan bayak orang, menghapal ribuan ayat, dan menyimpulkan dengan berlandaskan data ini, membuat semua orang terkecoh hanya karena saat debat Capres pertama saat itu, Ma'ruf Amin terlihat mengeluarkan pendapatnya hanya sedikit sekali, jauh jika dibandingkan Sandi yang terlihat "berbalas pantun" dengan Capres Prabowo.
Setiap kali mematahkan jawaban dari paparan Sandiaga, Ma'ruf tidak melakukannya secara "kasar" dan "brutal" walau yang dipaparkan Sandi ternyata sangat lemah dan tidak menguasai kondisi yang saat ini sudah berjalan. Kondisi yang berbanding terbalik dengan langkah yang dilakukan Capres Joko Widodo ketika berhadapan dengan Capres Prabowo (baca disini).Â
Terlihat sekali Jokowi terbawa "nafsu" untuk "menikam" Prabowo hingga "mati kutu" lewat statement-statementnya yang dinilai kubu Prabowo merupakan hal yang menyerang secara pribadi, sebuah hal yang sejak awal termasuk LARANGAN dalam aturan debat oleh KPU (komisi Pemilihan Umum) yang sudah disepakati oleh kedua kubu tentunya.
 Sesuatu yang "sudah terbaca" ketika Jokowi sebelumnya di beberapa kesempatan mengatakan "Saya menyampaikan apa adanya. Ya kan, masa saya diem terus. Saya suruh diem terus? Saya suruh sabar terus? Ya, ndak dong. Saya sekali-kali dong," kata Jokowi menanggapi "serangan" yang dilakukannya tadi.
Sandiaga sendiri, terlihat "keukeuh" akan rencana yang dipaparkan, walau akhirnya terkesan "berjualan" program saja. Apalagi, apa yang sudah terjadi di wilayah DKI Jakarta dimana beliau menjadi Wakil Gubernur saat itu, berbagai program pemerintah yang sudah berjalan jauh sebelum masa kepemimpinan Anies-Sandi sudah dilakukan, berjalan baik dan disempurnakan oleh Jokowi, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), dan Djarot, tiba-tiba "berubah nama" dengan modifikasi yang berakar pada program OK OCE.Â
Tranportasi yang dulu "berbau" TRANS saja yang berakar pada "TRANS JAKARTA" (mis: Trans Mini, sebagai pengganti metro mini dan kopaja, Trans Jabodetabek sebagai bus kota satelit yang punya akses sama terhadap Busway, Termasuk kemudian angkutan kota), kemudian diarahkan menjadi 1 kesatuan menjadi OK OTrip yang sejak dilakukan percobaan pertama selalu gagal hingga akhirnya di perpanjangan uji coba ke 6 diganti namanya menjadi JAK LINGKO (baca disini), padahal rencana peleburan seluruh angkutan diluar Bus Trans Jakarta sudah direncanakan oleh Sutiyoso yang prosesnya secara bertahap terus berjalan, tanpa diembel-embeli nama lain selain berbau nama "TRANS" yang secara branding akan memperkuat kesatuan sistem transportasi yang sudah berjalan baik ini.Â
Termasuk BLK (Balai Latihan Kerja) milik Pemprov DKI yang sudah berjalan dan beragam jenisnya, justru "didomplengi" dengan program OK OCE, sehingga dalam setiap promonya (pendaftaran peserta), nama OK OCE pun turut muncul, padahal, sebelum-sebelumnya tidak ada perubahan nama BLK, kecuali pengembangan program dan sistem pendidikannya yang terus diperbaharui agar menjadi lebih baik dan berdampak lebih cepat baik bagi peserta maupun lingkungannya.