Hari minggu pagi memang enaknya menulis, sambil ditemani secangkir kopi hitam. Kemewahan ini bisa terlaksana dengan beberapa syarat dan kondisi. Si bungsu tidur siang sedangkan abang-abangnya sedang asyik menonton film di DVD player. Ooh surganyaa… Walaupun saya belum pernah yaa sama sekali pergi ke surga. Walaupun juga katanya menurut Goenawan Muhammad, “surga dan neraka itu bukan tempat. Jika ada yang mengartikan itu suatu tempat, itu salah”. Tapi apabila salah satu dari bocah-bocah krucil itu buang air besar, maka sebaiknya disimpan dulu konsep surga dan neraka tadi. (ya iyalah disimpan dulu, yg penting bantu mereka dulu bersih-bersih di toilet hehehe…).
Saya mau coba kasih pandangan soal membaca. Saya baru baca beberapa Bab dari buku ‘Pseudo Literasi’ karya mas M. Iqbal Dawami ini. Buku ini secara tak sengaja saya lihat di capture oleh teman di dunia maya. Baca sekilas review-nya, kok sepertinya menarik isinya. Langsung saja saya kontak si penulis via facebook. Dan langsung mendapat respon. Begitu buku sampai dikirim ke alamat saya, langsung saya baca beberapa halaman. Buku ini cukup membuka wawasan saya soal dunia literasi. Bicara literasi maka kita bicara semuanya, mulai dari kalangan penulis, penerbit, kalangan pembaca dsb. Buku ini menceritakan keprihatinan dari sang penulis yang telah nyebur di dunia literasi selama kurang lebih 17 tahun.
Membaca buat saya sudah menjadi hobby. Mungkin karena sejak kecil saya sudah suka membaca. Komik seperti Kungfu Boy, Kenji, Tinju Bintang Utara, Tintin, majalah Bobo, novel-novel detektif dll. Oh indahnya masa-masa itu. Masa dimana masih tersebar cukup banyak Taman Bacaan yang setia menyediakan hasrat membaca saya. Cukup bayar Rp 150,- untuk meminjam 1 (satu) buku selama 2-3 hari. Maklum, jaman itu uang saku saya belum cukup untuk membeli langsung buku yang baru.
Beranjak dewasa tentu selera buku yang menjadi pilihan akan berubah. Akhir-akhir ini ada beberapa genre buku yang menjadi pilihan saya. Yakni novel, buku tentang sepakbola dan buku hasil karya pemikiran dan perjalanan seseorang. Saya sudah merampungkan novel “Kambing dan Hujan” karya Makhfud Ikhwan yang memenangkan Sayembara Menulis Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014. Sebagai seseorang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah, lalu hidup dan berkeluarga di lingkungan NU buku ini sangat menarik buat saya. Selanjutnya saya baru menuntaskan 2 (dua) Bab yang menjelaskan kenapa Negara Belanda dan Swiss masuk dalam daftar pilihan Negara-negara dengan tingkat kebahagiaan tinggi. Ini terangkum dalam buku Geograhy of Bliss karya Eric Weiner.
Tapi sampai saat ini belum ada buku yang mengalahkan rekor membaca saya selain buku novel ’40 (Empat Puluh) Kaidah Cinta’ karya Elif Shafak. Novel ini saya selesaikan hanya dalam kurun waktu 1 (satu) minggu. Pertemuan eksotis pencari Tuhan, Jalaluddin Rumi dengan gurunya Syamsuddin dari Tabriz membuat saya larut dalam alur cerita novel ini.
Dalam Islam, budaya membaca bahkan sudah diperintah sejak ayat pertama diturunkan pada Rasulullah Muhammad SAW. ‘iqra’ – bacalah. Jadi cukup mengkhawatirkan apabila kita malas untuk membaca.
Terimakasih buat mas Iqbal Dawami yang memaparkan soal dunia literasi ini. Terutama karena sampeyan sudah menyampaikan hakekat utama berkunjung ke Toko Buku. Yakni comot-comot saja buku-buku yang sekiranya menurut kita menarik, bayar sesuai dengan uang yang tersedia lalu pulang. Jangan terlalu dipikirkan kapan dibacanya buku-buku tsb, yang penting beli dulu. Kalau bukunya ada, kemungkinan dibaca sangat besar. Toh buku bisa dibaca kapan saja dan dimana saja hehe… :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H