Setiap tahun tradisi mudik seolah menjadi ritual tersendiri jelang Ramadhan berakhir,pada saat dimana ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua.Telinga kita tak asing lagi dengan berbagai istilah di seputaran mudik, ada yang mengatakan mudik adalah fenomena sosial dan tidak memiliki akar budaya. Namun terlepas dari pro-kontra terminologi mudik, ada satu hal yang pasti berpengaruh nyata pada aktifitas ekonomi masyarakat selama masa mudik. Lalu, ada yang terserak pasca musim Ramadhan dan mudik Idul Fitri di Indonesia setiap tahunnya, yakni besarnya potensi ekonomi semusim. Geliat ekonomi sepanjang Ramadhan serta pergerakan arus mudik yang serentak melibatkan manusia, barang dan jasa itu jika potensi ekonominya dihitung secara agregat memang menakjubkan. Betapa tidak, selama Ramadhan permintaan akan barang-barang konsumsi justru meningkat drastis, demikian pula halnya dengan transportasi, kegiatan di pasar tradisional maupun modern, dari mulai sandang, pangan, elektronik bahkan sektor jasa pariwisata. Sementara itu hampir 56 persen penduduk di kota-kota besar pada masa mudik di minggu terakhir Ramadhan melakukan ritual pulang kampung dengan membawa “multiplier effect” yang luar biasa pula. Tengok saja,jumlah pemudik tahun lalu saja diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta orang. Sekitar 18 juta orang menggunakan angkutan umum dan sisanya menggunakan moda transportasi darat dengan kendaraan pribadi. Sementara berdasarkan tren perhitungan BI, jumlah uang yang beredar sampai H-3 lebaran bias mencapai sekitar Rp300 triliun. Dari jumlah tersebut jika dihitung proporsi komponen konsumsi masyarakat dan memperhitungkan jumlah pemudik maka diperkirakan potensi aliran ekonomi mudik dari kota ke desa-desa di seluruh pelosok Indonesia jelang lebaran tahun lalu saja berkisar di angka Rp90,08 trilyun Rupiah. Dewan Pakar Pusat Studi Alquran Muchlis M Hanafi (2014) mengungkapbahwatradisi mudik lebaran sekarang ini tidak kental muatan religius. Namun, sudah bercampur nilai sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Mudik ini, ada yang menyebutnya sebagai ‘mudiknomics’ Indonesia yakni kegiatan ekonomi yang memiliki potensi signifikan selama musim mudik lebaran dan sesudahnya. Maksudnya, ekonomi di daerah menggeliat dengan mengalirnya uang ke daerah-daerah di tanah air lewat aktifitas mudik,” Istilah “Mudiknomics” inilah yang kemudian mengemuka belakangan ini sebagai sebuah bentuk partisipasi masyarakat langsung yang berpotensi besar menggerakkan perekonomian rakyat, jadi ekonomi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Agregasi dana yang mengalir dari pusat ke daerah sejatinya dimanfaatkan dengan lebih bijak, yakni menuju kedalam suatu langkan pelembagaan investasi, jadi tak melulu konsumtif. Karena itulah “Mudiknomics' bisa jadi jalan keluar pemerataan ekonomi atau khususnya wealth distribution.Menurut Dr. Firmanzah (2013),dampak ekonomi dari fenomena mudik selama ini memang menarik diamati karena potensinya mampu memberi efek dorong bagi keseimbangan pembangunan kota-daerah. Aliran dana segar dan tingginya permintaan pada momen mudik Lebaran setidaknya dapat mendorong penyebaran pendapatan sehingga ketimpangan dapat direduksi di samping membantu percepatan pembangunan. Jika pemerintah pusat dan daerah menyadari potensi perputaran uang di balik kegiatan mudik yang rutin berlangsung setiap tahun, maka harus ada rangkaian kebijakan ekonomi yang mendukungnya. Yang amat disayangkan, selama ini seolah-olah potensi ekonomi Ramadhan dan mudik tersebut dibiarkan berjalan sendiri-sendiri secara sektoral-natural. Mudik sebenarnya fenomena sosial-keagamaan khas Indonesia dan sudah berlangsung dalam beberapa dasawarsa, yang tentunya mengundang banyak aktivitas ekonomi yang layak dimanfaatkan. Jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyadari potensi perputaran uang didalamnya. Maka bisa melakukan semacam rekayasa social (social engineering) untuk menyengajakan/mengatur dana-dana tersebut untuk bisa digunakan membangun daerah melalui investasi usaha kecil yang lebih produktif sebagai stimulus bagi ekonomi di daerah bersangkutan. Sejak awal Ramadhan yang berlangsung setiap tahun, geliat ekonomi sudah mulai terasa, khususnya di sektor konsumsi ( C ). Sebagaimana diketahui variabel sektor konsumsi di Indonesia menjadi basis penting pertumbuhan ekonomi secara makro selama beberapa tahun. Bahkan di tahun tahun sulit karena krisis global, terjaganya sektor konsumsi menjadi katup penyelamat tetap tumbuhnya ekonomi negeri ini. Permintaan akan barang-barang kebutuhan pokok selama Ramadhan dapat berkali-kali lipat dibandingkan dengan bulan-bulan biasa, inilah mungkin salahsatu keberkahan di bulan mulia itu. Naiknya konsumsi terutama selama bulan Ramadhan otomatis menyebabkan pihak produsen menyiapkan target-target penjualannya jauh-jauh hari sebelumnya, inilah yang kemudian amat boleh jadi mempengaruhi bertambahnya tenaga kerja untuk mencapai target target tersebut. Belum lagi munculnya sektor-sektor informal dadakan yang terdapat di sejumlah besar wilayah. Pemerintah mestinya cepat merespons perkembangan ini dan bisa mengarahkan penempatan pasar-pasar dadakan tradisonal maupun dadakan selama Ramadhan dengan membangun semacam sentra perkulakan dan atau sentra pengecer yang permanen, tertib dan bersih, tentu saja pilihan tempat menjadi hal yang juga strategis. Lebih jauh “Mudiknomics” harus terus dicermati potensinya sebagai pendukung penting percepatan pembangunan ekonomi dan pemerataan, semoga ! (*).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H