Hati orang tua mana yang tak bangga menyaksikan anak kesayangannya berhasil menggapai apa yang ia cita-citakan sejak kecil, menjadi seorang Dokter !.Ya, itulah momen membahagiakan sekaligus mengharukan perasaanku hari itu. Si kecil yang dulu ku gendong dan kuantarkan pada kali pertama ia menjejakkan kakinya dibangku sekolah Taman-Kanak-Kanak, hingga sesekali ikut Ayah atau Ibunya ke kantor, kini sudah dewasa dan telah menyelesaikan gelar Sarjana Kedokterannya dari sebuah Universitas Negeri.Berulang kali aku mengucap puji syukur ke hadirat Allah Rabbul Izzati atas anugerah dari-Nya yang begitu banyak. Kebahagiaan itu menjadi unik, karena perjuangan anakku menyelesaikan kuliahnya bukanlah perjalanan yang mudah. Pertama, kami bukanlah keluarga yang berlebih secara materi. Ayah anakku ini hanyalah seorang yang “biasa-biasa” saja. Begitu pula dengan sang Ibu yang menjadi garda terdepan penyemangat anakku untuk menyelesaikan studinya. Kedua, kesulitan demi kesulitan yang aku alami, seringkali menjadi sebab aku “nyaris” pesimis dan “putus asa” atas kelangsungan studi ananda ku tersayang. Aku kerap merasa bersalah karena sebagai seorang Ayah, aku kurang memberikan kontribusi materi maksimal kepada anakku. Tapi hebatnya, anakku yang punyamental mandiri sejak kecil itulah yang kerap menghiburku dengan kata-kata dukungan yang membuatku trenyuh-Ya, papaa..tenang aja sih Paa..Oke Papaa, she is very taft and always going well !. Bukan itu saja, dalam usianya yang relatif belia, 21 tahun !, ia lulus bukan sekedar lulus, melainkan lulus dengan prestasi ‘cum laude’. Subhanallah. Maka aku bagi kabar bahagia itu dengan kerabat dan sanak saudara, sebagai rasa bangga seorang ayah pada anaknya. Lalu seharian itu aku dan anakku mengadakan ‘sedikit momen selebrasi’, aku berbincang sangat akrab dengan putriku yang tersayang, bertukar fikiran, haha-hihi, sedikit bicara politik, teknologi hingga ke soal-soal agama. Soal yang terakhir inilah yang sejak dulu aku tanamkan padanya, agar dia serius menjalankan ajaran agama secara utuh (kaafah), tentu (antara lain) dengan diskusi dinamis lewat media komunikasi, karena jarak kami lebih sering berjauhan, namun tak lantas menghilangkan keakraban seorang Ayah pada putrinya. Dengan satu harapan agar ia sukses dunia akhirat, aamiin, Insha Allah. Cerita panjang kami berakhir manakala anakku harus berpisah esok hari denganku karena akan melanjutkan tugasnya sebagai co. asst. Dokter di sebuah RS di luar daerah. Sore itu kebahagiaanku terus berlanjut dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, ingin rasanya aku ledakkan tangis haru dan kebahagiaanku saat itu, apalagi ketika anakku mencium tanganku. Tapi, seperti umumnya sifat semua Ayahdimana saja berada, sebagai laki-laki pantang rasanya menunjukkan “kelemahan” perasaan di hadapan anaknya, maka hanya sebersit senyum bahagia yang aku berikan padanya. Senyum yang mengandung seribusatu perasaan seorang Ayah pada anak tercintanya.Benarlah kata orangbahwa cinta seorang ayah itu tidak terlihat, karena memang ia tak mampu untuk menunjukkannya. Terbayang di mataku wajah almarhum Ayahku, andai ia masih ada, tentu ia juga bahagia menyaksikan cucu pertama .yang ia banggakan ini. Ya, aku merasakan apa yang Ayahku dulu pernah rasakan terhadap anak-anaknya, rasa sayang, rasa bahagia, namun tak pernah menunjukkan "rasa" itu secara ekstrim, sebuah pelajaran turun-temurun seorang ayah kepada anak-laki-lakinya yang kelak juga akan menjadi seorang ayah. Maka aku tumpahkan seribu satu perasaan yang berkecamuk di dadaku itu di keheningan malam pada Allah Ta’ala. Tak terasa meleleh air mataku dihadapan-Nya, aku menjadi kecil dihadapanNya dan sesaat tak tahu harus dengan cara apa aku berterimakasih dan bersyukur padaNya. Tak lupa aku mohonkan agar Allah senantiasa menjaga putriku, agar Allah juga menjaga batas-batas kebahagiaanku, supaya tidak hanyut kedalam cinta yang berlebihan terhadap anak, terhadap harta dan terhadap segala apa yang ada di dunia ini, sebab aku sadar semua ini hanyalah titipan-Nya. Aku mohon agar anakku terus diberikan bimbingan dan dijaga oleh-Nya, agar menjadi wanita solehah, memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Beberapa saat kemudian, aku tiba-tiba teringat beberapa ayat di dalam kitab suci Al-Qur’an yang membuatku kembali “terjaga” dengan sebuah prinsip dasar "memiliki" di jalur transendental. Yaitu Firman Allah Ta'ala tentang menyikapi amanah-Nya di dunia ini : 1."Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi".(TQS Al-Munafiqun 9) 2."Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (TQS Al-Hadiid 20)3. "Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar". (TQS Al-Anfaal 28). dan 4. Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (TQS At-Taubah 24).Maka tersentaklah aku setelahnya, Astagfirullah !. Ya Allah, ampunilah aku jika aku terlampau bahagia dan bersikap arogan dengan kesenangan sesaatku atas prestasi-prestasi anakku. Sebagai seorang manusia biasa, aku kerap lalai dan lemah. Karena rasa bangga yang berlebihan yang bisa saja melenakanku dan anakku. Meski dalam hati masih menyimpan rasa bangga itu dengan pembelaan diri ; wajarlah, namanya juga orang tua terhadap anaknya. Maka keesokan harinya sesaat sebelum kami berpisah di Bandara Soetta, aku titipkan sebuah pesan singkat padanya.Terima kasih nak atas hadiah terindah jelang usia ke -50 ayahmu ini, you are the best !. Subhanallah. Alhamdulillahirobbil alamiin. “Selamat ya Nak… Allahu Akbar. Semoga kamu kelak menjadi seorang Dokter yang penuh pengabdian kepada Allah, penuh dedikasi dan integritas, berguna bagi ummat, bangsa dan negara. Aamiin..Di matamu ada aku, aku bangga padamu dan terus bersyukur kepada Allah, jalankan kewajiban dan jauhi larangan Allah, jangan sedetikpun lupakan Allah ya nak”......Akhirnya hanya senyum sumringahnya yang kusimpan sebagai obat rinduku padanya. Aku segera menyadari, karena kalimat inilah yang selalu ku ulang-ulang padanya ; Teruslah menggapai prestasi as much as you can, !bertanggung jawablah atas segala apa yang telah kamu putuskan nak, jangan pernah sesali apapun yang pernah terjadi di masalalu, tentang Ayah-Ibumu, tentang takdir Tuhan atas kita semua. Selalu dan selalu berbaik sangkalah kepada Allah atas takdir yang sudah diberikannya untuk kita. Selalu ada hikmah dibalik semua peristiwa. Betapapun, pada akhirnya nanti, kita akan sendiri-sendiri bertanggung jawab pada Illahi Robbi atas segala peran yang kita lakoni di dunia ini, selamat berjuang nak, tetaplah bersahaja. Allah bersamamu..…"Luv you Kid !, very much.....someday, kamu harus lebih baik dari Papa dan Mama mu, Insha Allah". Start from wherever you are and with whatever you have. Take the first step and let the miracle begin...'Do your best and let God take the rest.'..” @go4success.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI