Mohon tunggu...
Ruli Mustafa
Ruli Mustafa Mohon Tunggu... wiraswasta -

THE TWINSPRIME GROUP- Founder\r\n"Jangan lihat siapa yang menyampaikan, tapi lihat apa yang disampaikannya" (Ali bin Abi Thalib ra). E-mail : hrulimustafa@gmail.com. Ph.0818172185. Cilegon Banten INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ritual Haji, Perspektif Keteladanan Profetik

19 Agustus 2018   09:55 Diperbarui: 21 Agustus 2018   23:11 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Calon jamaah haji Indonesia mulai berangsur tiba di Tanah Suci guna menunaikan rukun Islam yang kelima pada tahun 2018 ini. Banyak sekali hikmah di balik prosesi haji sebagai "napak tilas" Nabi Ibrahim as. tersebut bagi umat Islam, dan sekaligus juga menyiratkan keteladanan bagi seluruh umat manusia. 

Salah satu bukti keteladanan profetik atau teladan kenabian (prophet) yang menjadi "legacy" (warisan) Nabi Ibrahim alaihis salam adalah mampu menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Baik bertanggung jawab atas segala amal perbuatan diri sendiri, terlebih tanggung jawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya. 

Pesan kenabian ini penting untuk dapat dipahami seluruh umat manusia, agar mereka selalu mawas diri, tidak terbenam melulu pada kesibukan duniawi sehingga mereka menjadi lupa untuk apa mereka diciptakan.  

Kisah-kisah religius dan heroik seorang Ibrahim alaihissalam dicatatkan didalam kitab suci Alquran agar menjadi cermin keteladanan sepanjang masa. Kisah kisah tersebut tentu kerap selalu hadir dalam hati dan ingatan umat Islam khususnya, terutama dalam setiap memperingati Iduladha atau Idul Qurban. 

Kisah yang sangat fenomenal tentu saja adalah ketaatan Nabi Ibrahim as. kepada Allah SWT. yang dibuktikan dengan patuhnya Ibrahim tanpa syarat untuk mengorbankan anak kesayangannya, yakni Nabi Ismail as. 

Kepatuhan totalitas dan ikhlas berkorban  itulah yang luar biasa, kepatuhan yang dilandasi sepenuhnya untuk menggapai ridho Allah (lillahi Ta'ala) semata, tanpa "tapi" dan alasan alasan klasik lainnya. 

Pada umumnya manusia biasa mudah goyah ketaatannya ketika hendak memenuhi perintah Allah akibat godaan dunia, padahal sejatinya Allah tidak akan menguji manusia melebihi batas kemampuannya masing-masing, "la yukallifullahu nafsan illa wus'aha". 

Terkadang antara ucapan dengan perbuatan kita tidak sinkron, dimana secara lisan sering berikrar sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Rabb semesta alam, Namun dalam praktik, janji itu banyak diingkari. 

Nabi Ibrahim dalam hal ini meninggalkan legacy berikutnya yakni tepatilah selalu janji-janjimu, terutama kepada Allah. Nabi Ibrahim pernah bermohon kepada Allah agar diberikan anak yang shalih dengan janji akan taat atas segala perintah Allah. 

Ketika tiba saatnya ujian datang, Allah tagih janji itu dengan ujian maha berat yaitu mengorbankan sang anak, serta merta Nabi Ibrahim as. pun patuh dan taat atas perintah Allah tersebut.

Betapa hebatnya konsistensi Ibrahim tersebut. Nilai-nilai untuk menepati janji itulah yang seharusnya dibumikan di zaman sekarang ini dalam kerangka kesalehan sosial. 

Keprihatinan kita saat ini adalah langkanya keteladanan pemimpin, terutama atas janji-janjinya terhadap masyarakat. Tanggung jawab pemimpin dihadapan rakyatnya bisa saja diingkari, tapi tidak dengan pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

Semua hal, sekecil apapun, pasti akan dimintakan tanggung jawabnya. Karena itu salah satu kunci sukses kepemimpinan yang dteladankan Nabi Ibrahim AS adalah menepati janji-janji. 

Berikutnya adalah karakter husnudzon atau baik sangka terhadap apapun keputusan Allah.

Adalah tidak mudah berpikir positif atas semua kehendak Allah. Karena manusia hanya mampu melihat dari luar secara terbatas, maka selalu terbatas pula kemampuannya untuk menyimpulkan sesuatu kejadian, bahkan cenderung berkeluh kesah dan pesimis. Namun Nabi Ibrahim tidak demikian.  

Saat beliau meninggalkan istrinya, Siti Hajar  dalam keadaan hamil tua, Nabi Ibrahim sangat yakin atas kuasa Allah yang akan menolong sang Istri tercinta dan anaknya.

Beliau sangat "positive thinking" kepada Allah sekaligus mampu mengelola harapan harapannya.

Nabi Ibrahim juga adalah sosok "manager of hope", sabar dan tawakal atas segala ujian Allah. 

Sinergitas Nabi Ibrahim dengan istrinya yang patuh dapat menjadi cermin kekuatan ketaatan.

Kemudian terjadilah mukzizat air zam-zam yang meninggalkan pesan moral agar manusia di dunia ini jangan pernah berhenti berusaha dan berjuang untuk kehidupan di jalan Allah.

Karena, usaha itu ibadah, sementara rezeki itu mutlak pemberian Allah, yang datangnya kerapkali dari arah yang tidak disangka sangka. 

Siti hajar bolak-balik berjalan cepat di antara Bukit Safa dan Marwa mencari air sambil memuji Allah. Namun air, atas kehendak Allah, seketika memancar dari hentakan kaki anaknya yang kala itu masih bayi, yakni Ismail as.

Patuh dan Taat pada perintah Allah, baik sangka serta menepati janji adalah beberapa pesan Nabi Ibrahim yang sudah "dibukukan" dan dibakukan agar menjadi pedoman kepemimpinan di lintas zaman. 

Pesan nabiyullah Ibrahim as. itulah yang kemudian di napak tilaskan umat Islam pada  prosesi ibadah haji.

Ibadah haji dan umrah bukanlah "wisata rohani", namun merupakan miniatur "kawah candradimuka" perjuangan manusia di dunia ini, sebagai ujian guna bekal akhirat, yang disimbolkan dengan rangkaian prosesi tawaf, sa'ii dan wukuf dalam haji. 

Tidak mudah untuk menjalaninya jika tidak diniatkan dengan sepenuh hati, kesabaran dan keimanan yang kuat, prosesi haji harus mencapai kemabruran jika ingin berhasil. 

Umat Islam sejatinya menyadari bahwa Ibadah haji merupakan simbol titik puncak ibadah individual dan sosial yang sekaligus menggabungkan 3 jenis peribadatan : Ibadah badaniyah, qolbiyah dan amaliyah. Diperlukan fisik prima, kekhusyukan serta keikhlasan dalam beramal.

Sementara khusus tentang amaliyah qurban, diperlukan pemahaman multidimensi atas makna dari pemotongan hewan kurban.

Satu di antaranya yang menarik adalah soal prosesi penyembelihan hewan qurban sebagai simbol pemotongan perilaku hewani (Al-Bahimiyah) dan perilaku syaitoniyah (setan) dari diri manusia yakni keserakahan, karakter koruptif  serta ketakabburan. 

Cermin dari berhasil tidaknya seorang muslim mencapai derajat mabrur dari ibadah hajinya adalah sampai sejauh mana mereka berhasil membumikan pesan-pesan Nabi Ibrahim as. ke dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam kerangka ibadah individual, maupun ibadah sosial. 

Great achievement is usually born of great sacrifice, and is never the result of selfishness, prestasi besar adalah buah dari pengorbanan yang besar, bukan hasil dari sikap individualistik serta egois.

Itulah esensi dari pesan profetik Ibrahim AS, salah seorang manusia tangguh pilihan Allah, sebagai the role model umat manusia hingga akhir zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun