Mohon tunggu...
Rukmana Mulya
Rukmana Mulya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang yang senang belajar dari pengalaman oranglain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengalamanku Berkunjung ke Padepokan Sumedang Larang

29 November 2009   12:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:08 1789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sabtu tanggal 29 November 2009,saya diundang temen saya alip dari paguyuban salakanagara (komunitas facebook orang sunda yang ingin memperkenalkan budaya sunda ke dunia)untuk mengikuti salah satu undangan acara adat sumedang larang yang disebut tarawangsa. Menurut sumber wikipedia Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah "Tarawangsa" sendiri memiliki dua pengertian: (1) alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan (2) nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. naskah kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15-16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab. Pertunjukan Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut Jentreng. Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian. Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri. Sedangkan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari Saur, Mataraman, Iring-iringan (Tonggeret), Jemplang, Limbangan, Bangun, Lalayaan, Karatonan, Degung, Sirnagalih, Buncis, Pangairan, Dengdo, Angin-angin, Reundeu, Pagelaran, Ayun Ambing, Reundeuh Reundang, Kembang Gadung, Onde, Legon (koromongan), dan Panglima. Lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong jauh lebih banyak jumlahnya daripada lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran dan Cibalong. Lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran di antaranya terdiri dari Pangrajah, Panimang, Bajing Luncat, Pangapungan, Bojong Kaso, dan Cukleuk. Sementara lagu-lagu Tarawangsa di Cibalong di antaranya terdiri dari Salancar, Ayun, Cipinangan, Mulang, Manuk Hejo, Kang Kiai, Aleuy, dan Pangungsi. Sebagaimana telah disinggung di atas, alat musik pokok kesenian tarawangsa terdiri dari tarawangsa dan jentreng. Menurut sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel, Tarawangsa diklasifikasikan sebagai Chordophone, sub klasifikasi neck-lute, dan Jentreng diklasifikasikan juga sebagai Chordophone, sub klasifikasi zither. Sedangkan menurut cara memainkannya, tarawangsa diklasifikasikan sebagai alat gesek dan jentreng diklasifikasi sebagai alat petik. Alat musik tarawangsa terbuat dari kayu kenanga, jengkol, dadap, dan kemiri. Dalam ensambel, tarawangsa berfungsi sebagai pembawa melodi (memainkan lagu), sedangkan jentreng berfungsi sebagai pengiring (mengiringi lagu). Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 - 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami trance (tidak sadarkan diri). Itulah sedikit penjelasan Tarawangsa yang saya kutip dari wikpedia Padepokan Sumedang larang  berada di sukasari mekar jaya sumedang . sekitar 20 KM dari pusat kota. Sesampainya di padepokan sumedang larang sekitar pukul 17:30 WIB,saya menemukan pemandangan yang sangat jarang saya temui sebelumnya,dimana untuk masuk ke dalam padepokan saya disambut dengan cempor cempor yang disusun rapi di sepanjang tangga menuju kepadepokan. Saya dan temen temen disambut dengan ramah sekali oleh masyarakat adat sumedang larang ,dan mereka pun mempersilahkan kita untuk beristirahat sejenak di rumah masyarakat adat.

setelah beristirahat sejenak kamipun diundang oleh sesepuh untuk pergi ke tempat pertunjukan yang tak jauh dari rumah masyarakat adat. Suasana tempat pertunjukan itu sangat khas sekali dimana arsitekturnya membawa imajinasi saya masuk ke jaman kerajaan dulu disana sudah nampak para pengurus adat sumedang larang menggunakan pakaian adat khas yang sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk pertunjukan tarawangsa. Sesaji dan semua hasil panen masyarakat sumedang larang dikumpulkan bersama di tempat pertunjukan tarawangsa ini disana Saya menemukan sesuatu yang menarik perhatian saya,ada dua patung laki laki dan perempuan yang cantik dan juga tampan disimpan persis ditengah tengah sesaji. Menurut keterangan warga sekitar kedua patung itu menggambarkan tentang dewi sri dan dewa kama Dewi Sri adalah dewi percocok tanaman , terutama padi dan sawah di pulau Jawa dan Bali. Ia memiliki pengaruh di dunia bawah tanah dan terhadap bulan. Ia juga dapat mengontrol bahan makanan di bumi dan kematian. Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan Dan dewa kama adalah sesosok dewa yang, berbudi luhur, dan arif bijaksana Setelah beberapa lama menunggu persiapan dan menunggu masyarakat untuk berkumpul,Akhirnya acara pun di mulai Teriakan Pembawa acara memberikan semangat kepada saya untuk menonton pertunjukan ini,Dan akhirnya,acara resmi dibuka oleh sesepuh padepokan sumedang larang. Iringan merdu kecapi dan rebab mengawali pertunjukan malam itu,suasana pertunjukan semakin malam semakin mistis,dimana asap kemenyan mulai menyelimuti tempat pertunjukan Pertunjukan ini dimulai oleh 1 orang pria tua mulai masuk sambil duduk membawa kain putih berputar ke segala penjuru mata angin dengan perlahan mengikuti irama tarawangsa Pria tersebut menari perlahan lahan dari duduk lalu berdiri sambil masih memutar ke segala arah mata angin setelah itu masuk rombongan wanita datang berjumlah 8 orang sambil membawa sesaji bergabung dengan tarian pria Tarian tersebut diteruskan dengan Seorang wanita yang berposisi di tengah memegang wadah air sambil mencipratkan air menggunakan daun ke semua sesaji yang dibawa dgn berputar . Kemudian semua penari yang berjumlah 8 orang wanita itu berjajar duduk rapi di awali sang pria yang menyimpan sesajinya kepada tukang kemenyan/tukang nyekar,dan sesaji yang dibawa wanita itupun diberikan secara estapet kepada sang pria,setelah selesai memberikan sesaji sang pria tua itu lalu bersalaman kepada tukang kemenyan lalu pergi meninggalkan tempat tarian. Sementara itu,ke 8 penari wanita itu masih berada di tempat tarian,semakin lama alunan musik tarawangsa semakin mengalun,seiring alunan musik itu berjalan 4 orang penari wanita pergi memohon restu kepada tukang kemenyan sementara yang 4 orang lagi masih meneruskan menari. Setelah ke 4 orang wanita itu dikasih restu oleh tukang kemenyan maka datang istri sesepuh untuk membuka dan mengajak warga,tamu wanita untuk menari. Semua wanita menari mengikuti irama musik dan dikasih durasi sampe pukul 00:00 WIB Setelah selesai maka giliran Laki laki untuk menari dan dibuka oleh sesepuh padepokan sumedang larang lalu diikuti dengan warga dan tamu yang berbaris rapi untuk meminta restu kepada tukang nyekar kemenyan setelah itu sebelum menari semua yang mau menari wajib untuk di basuhan minyak dan memakai selendang Seperti terkena hipnotis semua orang terbuai dengan alunan lagu Tarawangsa ini,Rasa penasaran saya tiba tiba timbul,dan saya ingin mencoba gimana rasanya menari Tarawangsa bersama masyarakat padepokan sumedang larang. Saya pun mengikuti semua ritual sebelum menari Tarawangsa ini,setelah semua ritual selessai dilakukan sayapun ikut bergabung dengan para masyarakat padepokan sumedang larang dan ikut menari seiring dengan alunan musik Pertama kali yang saya rasakan sesak karna asap kemenyan,tapi lama kelamaan tiba tiba saya menjadi tidak sadar dan tidak tau apa yang saya lakukan. Setelah music perlahan mulai memelan saya sadar kembali dan akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan menari. Waktu itu menunjukan pukul 02:00 Wib Saya pun berinisiatif untuk beristirahat sejenak di rumah padepokan masyarakat sumedang larang. Selang beberapa lama,saya di kasih tau oleh salah seorang masyarakat bahwa acara Tarawangsa akan segera ditutup.akhirnya saya memutuskan untuk naik kembali ke tempat pertunjukan Tarawangsa.Dan acara Tarawangsa resmi ditutup dengan membaca doa bersama. Setelah selesai berdoa bersama,sesepuh padepokan sumedang larang memberitahukan bahwa segala barang bawaan masyarakat yang di sajenkan dapat dibawa kembali oleh masing masing pemilik,dan masyarakat pun kebanyakan tidak membawa barang bawaanya akan tetapi semua barang bawaan yang disajenkan itu,dibagi bagi. Nb: saya meminta masukan dari temen temen kompasianer yang mengerti sejarah tentang Tarawangsa.sehingga bisa melengkapi sedikit catatan saya ini,dan saya mohon maaf buat pembca karna tulisan saya ini masih belum baik dan benar,karna sekarang ini saya dalam proses belajar Pengalaman ini akan dijadikan pelajaran yang berharga buat saya pribadi Mudah mudahan pengalaman saya ini memberikan wawasan dan pengetahuan buat para kompasianer semua.. Sumber : wikipidia,Padepokan sumedang larang photo by rukzzolangan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun