Pemimpin Kampus Al-Zaytun, Syaykh AS Panji Gumilang yang memiliki mimpi besar tentang pengendalian air di Ibukota Negara, ternyata berpijak pada proyek Waduk Windu Kencana yang terdapat di kawasan Al-Zaytun. Ia juga mengambil contoh pembangunan bendungan Azwan, di Mesir, yang berhasil mengendalikan kota Kairo dari ancaman air bah Sungai Nil dan serangan buaya-buayanya. Berikut petikan wawancara seri terakhir mimpi Syaykh tentang Jakarta, disampaikan kepada tim wartawan Berita Indonbesia Ch. Robin Simanullang dan Haposan Tampubolon, serta fotografer Wilson Edward: Ibukota Negara selalu mengalami banjir berulang-ulang. Barangkali, Syaykh bisa memberikan sumbangsaran cara terbaik mengatasinya? Kalau sumbang saran itu terlalu besar. Tapi ada mimpi untuk Jakarta. Jakarta itu dikepung dan dialiri oleh berbelas-belas sungai yang besar maupun kecil. Selama itu sungai pasti dilalui air. Kalau tidak ter-manage, ya menjadi melimpah dan bukan rizki. Kalau kita ambil titik Jakarta dari Monas, sampai ke Cibinong, atau lebih sedikit, kemudian kita tarik dari Cibinong, atau lebih ke selatan sedikit kira-kira 60 kilometer dari titik Monas, di sana kita membuat sungai baru atau kanal. Kanalnya jangan terlalu kecil, katakan 100 meter lebar, kemudian di kanan kiri ada 50 meter yang nantinya menjadi jalan raya di tebing atau bantaran sungai. Kemudian kedalaman disesuaikan dengan kontur tanahnya. Kanal membentang ke barat, sampai lebih barat dari kota Tangerang. Katakanlah kalau diukur sampai ke Kresek, ditarik garis lurus mungkin sampai Cikupa. Itu kita buat lagi (kanal) yang sama 100 (meter), kanan-kiri ada jalan 50-50 meter. Kemudian ke timur, kanal sampai ke Karawang yang lurusannya nanti Rengasdengklok. Keluar dari sana ada yang namanya Tanjung Jaya. Kalau di Tangerang sana ada Tanjung Kait. Kalau itu dibuat, maka akan terjadi Ibukota Jakarta itu luasannya dari titik Monas 60 kilometer ke selatan. Kemudian dari titik Monas ke utara 30 atau kurang lebih 20 kilometer. Berarti hampir 80 atau 100 kilometer. Kemudian timur-barat (dari Monas) sampai ke lurusan Kresek sana 60 kilometer, dari Kresek itu mungkin juga sampai lurusan Batu Jaya 60. Berarti nanti akan ada sungai “Letter U” 60-60-60-60, yang totalnya menjadi 240 kilometer mengitari Ibukota. Kitaran yang “Letter U” sudah barang pasti mencegat perjalanan aliran air yang berasal dari 13-15 sungai itu. Yang antara lain kalau di tengah ada Ciliwung, di timur Citarum, dan di barat Cisadane. Sungai raksasa semua. Itu sudah terbendung dulu. Bukan berarti tidak boleh mengalir (tapi) ada paras kontrol. Dengan adanya kanal yang 240 kilometer, maka akan ada penanggulangan lalulintas. Ada orang kurang senang jalan di darat, dia jalan di air. Akan ada juga jalan yang mendukung kanan-kiri tadi, 240 kilo kali dua. Manfaatnya besar, bisa untuk rekreasi, bisa menghasilkan uang. Secara estetikanya indah, arsitekturnya mendukung. Mengapa sungai Nil bisa seperti itu, mengapa kita tidak bisa buat? Dulu sungai Nil kalau banjir bukan banjir air tetapi banjir buaya. Manusia Kairo banyak yang mati bukan tenggelam tapi dimakan buaya. Kalau Jakarta, banyak yang sengsara karena air. Kemudian (sungai-sungai) yang masuk dalam kota dinormalisir. Tidak usah mengusir penduduk, mereka tetap saja di situ. Perumahannya tidak boleh horizontal, mulailah vertikal. Sehingga di sisi-sisi sungai ada lahan yang luas. Katakan, Ciliwung yang dekat Tebet, nanti di pengkolannya, kampungnya masih Kampung Tebet, kelurahannya masih Kelurahan Tebet, kecamatan masih Kecamatan Tebet. Mereka tidak usah diusir karena sumber budaya ada di kampung-kampung itu. Dibuat perumahan ke atas. Ada 1.000 kepala keluarga (KK) dalam satu rumah vertikal yang tadinya mendiami 200 meter lahan. Maka lahan yang ditinggalkan, 200 meter kali 1.000 KK sama dengan 200.000 meter persegi itu dijadikan halaman, tempat sekolah, tempat olahraga, tempat rekreasi, tempat penghijauan lingkungan. Rumah cukup naik ke atas untuk 1.000 KK. Untuk pengontrolan kependudukan lebih aman dan lebih terkontrol. Jadi andainya seperti itu maka di dalam kota ada pilihan jalan. Ah, saya mau lewat Ciliwung saja, oh, saya mau lewat Ciliwung pinggiran kanan atau kiri. Maka tidak ada kesulitan jalan raya. Jadi bukan karena banyaknya kendaraan Jakarta macet, tapi manajemennya yang kurang tertata. ‘Oh, biayanya mahal’ (kata orang), oh memang mahal. Tapi lebih mahal jiwa satu orang yang terendam air, daripada kita menata seperti itu. Katakan, diperlukan puluhan miliar dollar. Oh sekali hutang saja 40 miliar (dollar) kok. Tapi bukan begitu. Jadi darimana dananya ? Orang Indonesia sesungguhnya kaya. Karena jumlah penduduknya lebih kurang 240 juta, ambil 10 persen saja - 24 juta orang - yang punya uang diam 100 ribu dollar . Jual obligasi kepada mereka, kepada bangsa sendiri. jangan ke luar negeri. Dan jangan pula mencetak obligasi yang cincai-cincai satu dollar dua dollar. Banyak kok orang yang bisa membelinya. Lha, sejumlah itu apakah mungkin mengumpulkan 100 miliar dollar AS. Sangat mungkin. Bisakah kembali dengan tempo cepat? Sangat bisa, mengapa tidak? Sebab air berjalan. Ada transportasi air, ada wisata air, kemudian ada ketenangan jiwa. Terjadilah Ibukota menjadi tenang. Kemudian tidak usah digembar-gemborkan istilah megapolitan dan sebagainya. Setelah dibuat seperti itu maka diputuskanlah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat : Ibukota Negara Indonesia adalah Jakarta yang dibatasi oleh sungai baru “Letter U”. Selesai. Rakyat tidak berdebat. Gubernur Jawa Barat tidak akan melawan, Gubernur Banten tidak akan melawan. Gubernur Jakarta tidak akan bangga sendiri. Lha iya, wong keputusan, menjadilah Ibukota Negara Republik Indonesia. Jakarta perbatasannya sungai yang baru dibuat, katakanlah “Tirta Sangga Jaya” atau “Air Yang Menyangga Jakarta Raya” Hinterland-nya turut memperoleh manfaat, untuk wisata misalnya? Untuk wisata, kemudian air untuk pertanian diambil oleh Jawa Barat dan oleh Banten. Kan, asyik. Di sungai Nil ada wisata air tengah malam sambil menari-nari, di sungai Tirta Sangga Jaya pun bisa nanti keliling. Sungai Nil cuma berapa kilo, TSJ ini 240 kilometer. Sedangkan, satu malam cuma 12 jam nggak cukup, ‘ah, besok lagi’, datang lagi, karcis lagi, masuk retribusi. Nanti orang tidak hanya datang ke Bali. Ke Bali suatu waktu tapi Tirta Sangga Jaya tidak boleh dilupakan, kan begitu nanti. Kemana wisatanya? ‘Ke Tirta Sangga Jaya’. Pendanaan, apakah lewat APBN? Begini, sepuluh persen saja dari total jumlah penduduk Indonesia membeli obligasi negara senilai minimal 4.200 dolar AS (setara dengan Rp 38,64 juta), mimpi Tirta Sangga Jaya akan menjadi kenyataan. Mewujudkan mimpi ‘Tirta Sangga Jaya’ memerlukan biaya yang sangat besar. Dengan panjang 240 kilometer melintasi Bodetabek, lebar sungai 100 meter dan masing-masing sisi kanan dan kiri bantaran kanal dibangun jalan raya selebar 50 meter membutuhkan luas lahan 48.000 kilometer persegi. Pengerjaan TSJ diperkirakan membutuhkan 5.000 unit excavator baru dalam waktu bersamaan. Jika masing-masing unit seharga 100.000 dolar AS, maka untuk pengadaan excavator saja proyek Tira Sangga Jaya membutuhkan dana 500 juta dollar AS yang bila dirupiahkan dengan kurs Rp 9.200, sama dengan Rp 4,6 triliun. Syaykh AS Panji Gumilang sendiri memperkirakan akan dibutuhkan total biaya sedikitnya 100 miliar dollar AS, setara Rp 920 triliun. Para insinyur, arsitek dan semua yang terlibat dalam pembangunan proyek, tentu bisa segera memilah-milah alokasi penggunaan dananya. Misalnya, berapa persen untuk biaya konsultasi, biaya tenaga kerja (manhours) untuk ratusan ribu pekerja selama tiga tahun, biaya peralatan, biaya material dan bahan-bahan, dan biaya-biaya lainnya. Para praktisi ekonomi makro maupun mikro juga bisa menghitung proyek ini dari sudut pandangnya masing-masing. Bila besarnya biaya pembangunan Tirta Sangga Jaya digambarkan dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, yang saat ini mencapai Rp 1.300 triliun. Maka, apabila biaya pembangunan proyek mencapai Rp 920 triliun, itu sama dengan sekitar 71 persen dari PDB. Artinya, Indonesia akan bisa mewujudkan Tirta Sangga Jaya dengan tidak makan-minum selama 258,30 hari dalam setahun. Atau, apabila selama setahun 2007 pemerintah menganggarkan anggaran Belanja Pembangunan sebesar Rp 350 triliun, maka, pemerintah bisa membangun Tirta Sangga Jaya selama 2,6 tahun dengan syarat tidak melakukan investasi apapun sebab seluruh investasi pembangunan dialokasikan ke proyek Tirta Sangga Jaya. Tetapi apakah pendanaan model seperti itu yang dimimpikan Syaykh? Ternyata tidak. Syaykh mengatakan, jika Indonesia dalam sekali utang bisa meminjam ke luar negeri 40 miliar dollar AS, maka proyek mandiri nasional Tirta Sangga Jaya tidak perlu meminjam ke luar negeri, melainkan dengan menerbitkan obligasi yang hanya diperjualbelikan di dalam negeri. Syaykh mempunyai hitungan tersendiri dengan merujuk jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa. Syakh percaya jika terdapat 10 % dari jumlah penduduk yang memiliki uang diam dan mampu membeli obligasi senilai minimal 4.200 dolar AS (setara dengan Rp 38,64 juta), maka dengan mengajak mereka saja sudah terkumpul dana sebesar 100,8 milyar dollar AS setara dengan Rp 927,360 triliun. Mimpi Tirta Sangga Jaya pun pasti terwujud. Perlu dibentuk semacam Otorita? Ya, otorita khusus supaya ter-manage apa saja bentuknya. Integrated nanti dengan hinterland-nya. Dilindungi oleh payung yang sangat kuat yaitu keputusan Majelis sebagai keputusan politik. Kalau tidak, saling berkuasa nanti. Kata Jakarta, ‘Oh, ini milik saya’. Kata Jabar, ‘Milik saya’, kata Banten ‘Milik saya’. Berapa lama mewujudkannya sejak pelaksanaan? Ah, kalau negara satu dua tahun selesai asal pendekatannya bagus. Sekarang rakyat tidak mau karena mereka memang tingggal di situ. Nanti, merekapun tetap tinggal di situ. Dikasih ganti untung? Bukan dikasih ganti, disediakan. Rumahmu tetap ini, tapi dinaikkan, vertikal, lebih bagus, bisa tahu bulan lebih dekat. Kalau dari bumi kan jauh. Mungkin tingkat 30, ‘Lebih dekat kamu kepada bulan’. Jadi kalau angin lebih dekat ke angin yang lebih segar. Pembebasan lahannya mungkin yang sulit? Jangan pernah dibebaskan lahan itu. Kalau dibebaskan tidak mau orang, bertahan. Ini dibuat sungai, rumahmu tetap di sini, lebih bagus, kampungmu tetap di sini. Lah tanah tumpah darahnya ditanya dimana, ‘Itu sungai’. Tanah tumpah darahku di kampung ini, bercerita dulu kampung saya di sini, yang sekarang dibuat sungai. ‘Lho, kok namanya tetap’. Iya, namanya tetap, nggak boleh dirubah. Jadi, kalau dia orang di Tebet ya tetap di Tebet. Cuma dulu Tebetnya disini ( kanal TSJ) , sekarang Tebet disini (rumah vertikal). Jadi KTPnya enak. Ngontrolnya enak. Yang punya KTP jelas. Yang tidak punya KTPpun jelas. Budaya bisa ditata dengan baik. Bhineka Tunggal Ika bisa dimasukkan di situ. Jadi bukan hanya simbol, tapi ilmunya dan amalnya. Bagaimaan dengan Banjir Kanal Timur atau Kanal Barat yang sedang dikerjakan? Itu tidak memadai, sama saja dengan ini ada kudis, tet, dipencet terus keluar, pindah ke sini, tet, keluar. Kalau ini nggak. Kasih jalan air, ‘kamu’ lewat sini. Oh terlalu melimpah, buka sedikit pintunya, masuk dalam kota. Kotanya sudah lurus, air sungainya bisa disambung dengan sungai Cikeas, bisa disambung dengan sungai Ciliwung, interdependen. Nanti dibuat interdependen. Kan asyik dalam kota ada perahu, ada boat seperti negara-negara besar lain. Konsep Belanda dulu, masih konsep feodal Banjir Kanal Barat dibangun untuk melindungi Menteng saja? Karena dulu batasannya kecil maka dikatakan orang kampung Kali Deres. ‘Deres’ itu cepat larinya. Begitu masuk Banjir Kanal Timur sekarang dinamakan Kali Malang. Dinamakan Kali Malang karena melintang masuk kota. Mestinya utara-selatan, ini lari ke barat menjadi timur-barat malang-melintang, Kali Malang. Di mana-mana sungai itu ke timur, ini ke barat. ‘Ah, sudah, kali malang-melintang’, gampang saja orang Indonesia kasih nama. Sekarang ada nama bagus Tirta Sangga Jaya? Kalau Tirta Sangga Jaya agak sedikit pantas daripada Kali Deres atau Kali Malang. Masak orang segar-segar dikatakan 'malang'. Pantas banjir terus sebab kalinya malang. Coba kalau kalinya 'mujur'. Waduk Windu Kencana Al Zaytun mungkin bisa menjadi wujud awal Tirta Sangga Jaya? Itu, aplikasi mimpi. Sebelum yang besar kan yang kecil dulu. Waduk Windu Kencana akan menjadi objek wisata juga? Ya. Pembangunan itu harus punya nilai ekonomi, nilai hiburan, nilai rekreasi, nilai arsitektur, nilai kelestarian, baru namanya sustainable. Kalau cuma air, kaku. Selain menyangkut ketahanan terpadu pertanian, ada manfaat Waduk Windu Kencana untuk masyarakat sekitar? Oh, pasti. Kalau Al-Zaytun tinggal di belantara padang pasir Azwan sana ya nggak ada (manfaatnya). Ini kan tinggal di masyarakat. Kalau berbicara Zaytun bicara masyarakat sekalipun agak jauh letaknya. Sungai itu kan air, tidak diam, dia merambat. Setiap yang dirambati air pasti bagus karena air itu sumber kehidupan. Tirta Sangga Jaya sepertinya bukan mimpi sebab miniaturnya Windu Kencana sudah ada? Yah, kalau bagi saya itu mimpi. Karena kita di sini. Secara politis Al-Zaytun bisa berperan mendorong political will dari atas tadi? Oh, kalau peranan, semua bangsa. Al-Zaytun kan sebagian kecil dari warga bangsa. Paling tidak gubernur Jakarta datang ke sini memperoleh masukan konsep membangun Jakarta? Biasanya kalau datang ke sini, ‘Oh, ini kan tempat kecil, jadi gampang. Jakarta itu besar, jadi susah’. Selalu mengedepankan susah. Kalau kita selalu mengedepankan 'kerja'. Semua tidak ada yang susah kalau dikerjakan. Dan tidak ada besar tidak ada kecil pekerjaan itu. Karena nilainya sama. Kecil tidak selesai ya tambah rusak. Besar tidak dikerjakan juga susah. (RB/Philadelphia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H