Mohon tunggu...
Rukin Firda
Rukin Firda Mohon Tunggu... -

Lahir di Jombang, tumbuh dewasa di surabaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Rakyat Jelantah Menjadi Rakyat Jelita

9 Februari 2014   19:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:00 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KETIKA RAKYAT JELANTAH MENJADI RAKYAT JELITA

Dalam sebuah diskusi, saya menyebut diri sendiri sebagai ‘’rakyat jelantah’’. Ingat, pakai ‘’n’’. Bukan ‘’rakyat jelata’’. Saya tidak sedang ‘’slip of the tongue’’, karenanya pengucapan yang salah itu tentu bukannya tanpa tujuan.

Saya berniat memaparkan perbedaan ‘’rakyat jelata’’ dan ‘’rakyat jelantah’’. Sayang, moderator diskusi tidak menyadari kesalahan yang saya sengaja itu. Atau jangan-jangan moderator tidak tahu bahwa pengucapan saya tadi salah. Diskusi jalan terus sesuai tujuan. Meski saya berulangkali mengucapkan ‘’rakyat jelantah’’ kadang dengan tekanan yang kuat, namun moderator tidak juga menyadari telha terjadi ‘’intentionally error’’.

Jadi, di sinilah saya menuangkan kekesalan saya karena tidak mendapat respon seperti yang saya harapkan dalam diskusi tadi. Saya akan memaparkan perbedaan ‘’rakyat jelantah’’ dan ‘’rakyat jelata’’.

Rakyat jelata, saya yakin sudah banyak yang mengerti bahwa ungkapan tersebut menggambarkan level rakyat paling bawah. Rakyat yang dari sisi akses menuju kekuasaan sangat rendah. Mereka sangat jauh dari pusat kekuasaan. Baik dari sisi jarak maupun kedekatan emosional.

Meskipun demikian, mereka masih masuk dalam perhitungan dan pembahasan penguasa di pusat kekuasaan dan bersifat temporer. Yaitu saat dibutuhkan, misalnya dalam pembahasan-pembahasan untuk menyusun kebijaksanaan.

Elite penguasa di pusat kekuasaan menjadikan kondisi – biasanya kondisi buruk – rakyat jelata tersebut sebagai salah satu pertimbangan. Meski pun, sering kali terjadi, ketika muncul kebijakan yang didasarkan pada kondisi rakyat jelata tadi sudah ditetapkan, implemetasinya tidak sampai pada mereka Kalau pun sampai, hanya sebagian kecil, hanya sekadar syarat untuk menunjukkan bahwa kebijaksanaan tersebut sudah direalisasikan.

Lantas, bagaimana gambaran ‘’rakyat jelantah’’ yang membedakan dengan ‘’rakyat jelata’’? Garis besarnya, rakyat jelantah satu level di bawah rakyat jelata. Karena di bawah, jelas posisinya lebih rendah dari rakyat jelata.

Kata ‘’jelantah’’ sebenarnya sudah menunjukkan betapa rendahnya gambaran rakyat dengan label seperti itu. Jelantah adalah sisa minyak goreng yang sudah beberapa kali dipakai. Warnanya sudah kehitaman, cenderung lebih kental, dan terkesan kotor. Kalau dipaksakan untuk menggoreng, akan menimbulkan rasa tidak nyaman di tenggorokan, setelah makan makanan yang digoreng dengan jelantah. Bahkan, konon, makanan yang digoreng dengan minyak jelantah memiliki kandunang kolesterol yang tinggi.

Karena itu, jelantah biasanya dibuang. Atau paling mujur, digunakan sebagai pelumas untuk melancarkan engsel pintu yang berderit. Dengan risiko, engsel pintu akan dikerubuti semut yang terundang aroma kuat minyak jelantah.

Dengan kondisi seperti itu, jangan mencoba mengaitkan mereka dengan kebijaksanaan yang digodok di pusat kekuasaan. Karena akses mereka ke pusat kekuasaan sangat rendah, atau bahkan tidak ada sama sekali. Kondisi, situasi, serta segala sesuatu yang terjadi pada mereka tidak menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijaksanaan. Kecuali, sebaliknya, bahwa mereka akan sangat terpengaruh dengan kebijaksaan dari pusat kekuasaan dengan segala implikasinya, konsekuensi, dan risikonya.

Mereka, meskipun dasar hukum tertinggi mengatakan bahwa mereka sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, namun kenyataan di lapangan menunjukkan yang sebaliknya. Jangankan memegang atau mengendalikan kekuasaan atau kedaulatan, sekadar menjadi bahan pertimbangan saja tidak. Tidak lagi dipandang sebelah mata, namun lebih parah, tidak dipandang sama sekali.

Dalam konstalasi politik dan kekuasaan, mereka tidak memiliki akses dan daya sama sekali Satu-satunya yang tersisa yang mereka miliki hanyalah ‘’suara’’. Ingat suara dalam tanda petik. Suara mereka hanya dinilai sebagai komoditas politik berupa dukungan, bukan aspirasi. Para politisi merasa perlu mendapatkan ‘’suara’’ mereka sekadar sebagai bentuk dukungan. Bukan suara sebagai aspirasi.

Jelasnya, suara rakyat jelantah itu diukur dari sisi kuantitasnya, bukan kualitasnya. Politisi menghargai suara mereka dari sisi jumlahnya. Tidak peduli apa aspirasi rakyat jelantah, yang penting suaranya bisa diklaim terlebih dahulu untuk menunjukkan besarnya dukungan. Soal aspirasinya, emang gue pikiran.

Yang diinginkan para politisi dari rakyat jelantah adalah dukungan, bukan aspirasinya Karena itu, jangan salahkah para politisi tadi, ketika sudah duduk nyaman di kursi eksekutif atau legislatif, ternyata bertindak, berperilaku, atau membuat kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat yang sudah mendukungnya. Karena saat mereka datang dan merayu rakyat sebagai pemilik tertinggi kedaulatan, yang mereka minta adalah ‘’suara’’ sebagai dukungan, bukan suara sebagai aspirasi.

Ketika rakyat memilih dalam pemilu, mereka sejatinya hanya membuat pernyataan bahwa mereka mendukung politisi tersebut sebagai wakil mereka. Bukan menitipkan aspirasinya kepada para politisi untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun kebijaksanaan. Tidak salah jika kemudian banyak produk-produk legislasi buatan wakil rakyat ternyata tidak menggambarkan aspirasinya rakyat yang katanya mereka wakili. Bahasa sederhananya, produk-produk legislasi itu tidak membumi dan sejatinya rakyat tidak memerlukannya. Contoh paling sederhana, pemberian pensiun bagi mantan anggota dewan. Dilihat dari sisi mana pun, kebijaksanaan tersebut tidak diperlukan sama sekali oleh rakyat.

Jadi, di saat-saat seperti ini, ketika rakyat jelantah sedang menjadi ‘’rakyat jelita’’ yang sedang dikejar-kejar politisi untuk dirayu, berhati-hatilah. Jangan berikan suaramu untuk mereka yang meminta ‘’suara’’ sebagai dukungan namun bukan sebagai aspirasi. Ketika mereka meminta suara, sodorkan daftar aspirasi dan minta mereka membuat kontrak tertulis bahwa mereka akan mewujudkan aspirasi tersebut. Jangan lepas ‘’suara’’ rakyat jelantah sebagai dukungan semata, namun juga suara sebagai aspirasi. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun