Selama menjadi kompasiner yang tak rajin-rajin amat, saya termasuk yang tertarik dengan diskusi (aslinya: artikel berbalas artikel/komentar dan komentar berbalas komentar/artikel) seputar kasus PKS di situs berbagi ini. Terkadang saya menjumpai intensitas polemik yang berkembang begitu enak dinikmati sebagai diskusi yang memantik keinginan untuk melihat persoalan dengan lebih gamblang. Namun tak jarang pula, saya menjumpai di sana-sini berbagai perdebatan yang berkembang ke arah semacam saling bully. Kata-kata yang melecehkan, sikap arogansi, merasa paling suci, sok intelektual, menganggap diri paling tahu banyak hal, dll. Untuk yang terakhir ini, psikologi kanak-kanak saya terkadang menikmati serunya (seperti nonton perang pada pertunjukan wayang kulit semasa kecil dulu). Namun ketika sadar bahwa rambut saya semakin banyak yang memutih, muncul rasa sedih juga begitu menyaksikan sikap kekanak-kanakan telah mengalahkan akal dewasa untuk lebih jernih dalam memandang persoalan.
Paling tidak ada dua hal yang ingin saya tulisan dalam artikel ini.
Pertama, sebagai orang yang awam di bidang politik, saya merasa benar-benar belajar banyak dari berbagai diskusi yang ada. Semula saya lebih memakai “kaca mata kuda” untuk melihat pelbagai fenomena politik. Alhamdulillah, mengikuti diskusi-diskusi yang didominasi anak muda di medan ini, saya semakin mengenali bermacam-macam perspektif yang membingkai pandangan-pandangan tentang fenomena politik ataupun peristiwa-peristiwa politik itu sendiri.Sehingga, hal ini menuntun saya untuk tidak menarik kesimpulan, apalagi secara terburu-buru, atas hasil akhir perdebatan tersebut, maupun atas substansi persoalan yang diperdebatkan.
Dalam konteks kasus PKS, misalnya. Semula perdebatan tentang kasus ini saya duga tak lebih sebagai adu argumentasi dua pihak yang kerap disebut sebagai PKS Lovers dan PKS Haters yang hanya menawarkan dua perspektif. Ternyata saya salah. Saya melihat begitu banyak perspektif yang mengemuka. Ada perspektif melihat PKS dengan loyalitas perjuangan, ada perspektif fanatisme kepartaian, ada perspektif kompetisi, ada perspektif kebencian, ada perspektif kritis membangun, ada juga perspektif kritis skeptis, ada perspektif asal bukan PKS, ada juga perspektif yang paling benar hanya PKS, ada perspektif benar-benar benci ada juga perspektif cinta buta, dll.
Suguhan yang menarik. Dan dari sana saya mulai belajar kira-kira bagaimana setiap perspektif itu bisa muncul. Bagaimana pula subyektivitas dan obyektivitas saling mendominasi atau bahkan saling menafikan dalam setiap kepala para pengusung setiap sudut pandang itu. Dalam kepala saya tiba-tiba tergambar lukisan sebagai wujud silang sengkarut itu: lukisan benang-benang aneka warna yang saling berbaur dan kusut, tidak jelas mana ujung dan pangkalnya, dan pelukisnya yang duduk menghadap kanvas meneruskan goresan warna-warni itu dengan bibir tersenyum sambil sekali-kali menghisapa dalam-dalam sepuntung rokok yang terselip di salah satu sudut bibirnya.
Sebagai awam politik, tentu saja saya tidak memiliki kapasitas untuk menilai mana saja pendapat yang benar dan mana yang salah. Saya hanya mampu mendukung pihak yang menurut subyektivitas saya telah bersikap dan bertindak benar. Misalnya, dalam satu dua komentar saya, saya mengacungi jempol alias rate kepada kader PKS yang menulis secara orisinil, juga yang mencoba berpikir jernih dalam melihat kasus yang menerpa partai kesayangannya. Di saat lain, saya mengamini para pengritik PKS ketika ia memang membeberkan pandangannya secara santun disertai argumentasi yang masuk akal dengan fakta-fakta sebagai data. Entah, saya juga enggan menanggapi para pecinta PKS yang terkadang tidak menampakkan sikap respek kepada para pengritik yang telah menyampaikan pandangannya dengan cara yang baik. Juga, saya “malas” menanggapi para pengritik yang hanya mengedepankan sikap asal bukan PKS, seakan-akan PKS benar-benar sekumpulan manusia nista dan terlaknat yang tak ada kebaikannya sama sekali.
Kedua, hal-hal semacam ini telah mengajak saya untuk belajar bersikap adil dalam menilai. Meskipun, tentu saja sulit. Terlebih untuk fenomena politik yang sangat multi-dimensional. Senyatanya, setiap sudut pandang yang muncul, masing-masing telah menampakkan sisi benarnya, walaupun kerap juga menyembunyikan sisi tidak masuk akalnya.
Untuk itu saya ingin mengatakan: bolehlah Anda merasa berpendapat paling benar untuk kasus yang sedang Anda perdebatkan. Tapi, saya memohon Anda untuk menyisakan beberapa persen dalam ruang pikiran Anda untuk menyadari adanya kemungkinan salah dalam pendapat Anda. Begitu pula sebaliknya, katakan bahwa pendapat lawan debat Anda pasti salah. Tapi saya memohon Anda untuk selalu memberi ruang kesadara beberapa persen, karena Anda harus menyadari bahwa pendapat orang lain pasti tidak selalu salah.
Kecuali, Anda memang sudah merasa naik derajat setingkat dengan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H