Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Sekapur Sirih #Art4All

10 Agustus 2017   22:53 Diperbarui: 11 Agustus 2017   22:03 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://assets.kompas.com/data/photo/2015/07/23/0952172chris-lie-image-credit-thejakartapost.com-780x390.jpg

"Kalau gede mau jadi apa? Jangan pelukis ya, duitnya dikit."

Ungkapan tersebut tidak asing mampir lagi di telinga kita masing-masing terutama saat kita masih kecil. Orangtua cenerung mencekoki anaknya dengan doktrin "Jadi pilot saja" atau "Jadi dokter saja". Hal tersebut juga tidak terelakkan lagi terjadi kepada saya, sehingga begitu ditanya cita-cita? Dengan semangat 45, saya menjawab, "Mau jadi ilmuwan".

Keadaan berubah seiring jalannya waktu, pikiran manusia memang tidak ada yang pasti. Dulunya saya yang ingin menjadikan sains sebagai tujuan, sudah banting setir, berpikir bahwa "Seni adalah destinasi saya". Orangtua pun setuju dan beruntungnya mendukung saya seratur persen. Beranjak dewasa, saya mengenal lebih banyak orang di lingkungan saya. Karakternya banyak dan beragam, ada yang lebih matang ilmunya dari saya, tak peduli bahwa usianya masih belia ketimbang saya, mendapat dukungan penuh dari lingkungannya, tetapi ada juga yang tidak disetujui. Saya tidak memukul rata bahwa orang yang tidak mengizinkan anaknya masuk seni adalah berpikiran kolot, namun bila kita membuka mata dan melihat sekeliling kita, maka kita akan sadar:

Seni ada di sekeliling kita.

Bahkan, bangku sekolah yang membosankan, meja kantor Anda yang terlihat kusam, sampai sepatu yang -- entah apa Anda sadari atau tidak---sedang Anda pakai untuk menginjak apapun, semua itu merupakan seni. Kata seni memilikki makna yang luas, tidak terbatas hanya di gambar saja. Beruntung para universitas sudah melihat potensi ini, yang kemudian melahirkan sebuah jurusan yang akhir-akhir ini beken: Desain Komunikasi Visual (DKV). Ilustrator maupun desainer, semuanya adalah pekerja seni. Tak jarang juga kita mendengar anak bangsa yang membanggakan, berkiprah di luaran sana. Salah satu orang yang saya kagumi, yaitu Om Chris Lie, yang telah memberi bukti kepada kita semua bahwa pekerja seni itu tidak sehausnya dipandang sebelah mata.Bicara di lain sisi dari uang, melalui seni kita juga bisa memberikan kontribusi ke dunia, juga menyalurkan ekspresi serta bakat masing-masing. Ketika kita menjadikan uang sebagai tujuan utama, saya rasa, di situlah kita tersesat. Seni ada untuk semua orang, untuk segala kalangan, untuk segala usia. Karena seni sendiri adalah perwujudan karsa dan rasa keindahan yang dirasakan oleh manusia. Seni dibuat oleh kita, untuk kita, dan dari kita.

Biasanya orang akan memandang, bahwa, jika gambar Anda tidak bagus, maka Anda tidak berbakat, yang jelas adalah sebuah kesalahan besar ketika kita memukul rata standar kualitas seni berdasarkan usia. Baik bilanya kita tidak berkecil hati ketika dikatakan seperti itu, melainkan kita seharusnya "balas dendam", tentunya dengan konotasi yang baik: menunjukkan karya seni dan mengatakan bahwa "Saya bisa!" merupakan sebuah langkah besar yang akan membawa kita ke lembaran yang baru. Para pelukis terkenal pun tentunya tidak serta merta langsung pandai di bidang menggambar ketika baru lahir. Semua butuh proses hingga mereka mencapai kematangan berkarya dan namanya berkibar sampai ratusan tahun lamanya.

Apakah Anda pernah membayangkan apabila pelukis terkenal itu adalah sahabat Anda, kerabat Anda, adik Anda, atau bahkan... Anda sendiri? Dukungan penting untuk itu, namun buka berarti kita tidak bisa berkembang ketika tidak ada dukungan. Saya mengenal beberapa orang yang mengalami kejadian seperti itu, justru membuahkan karya yang luar biasa. 

Goro Fujita, seorang pelukis terkenal yang spesialisasinya adalah speedpainting, pada awalnya pun juga mengalami kesulitan di bidang waktu. Beruntung beliau adalah seorang yang memegang teguh komitmennya dengan menyisihkan waktu setidaknya 30 menit setiap hari untuk menggambar. Semua kerja keras akan memberikan hasilnya di waktu yang tepat.

Meskipun Anda memilikki kesulitan dalam mendesain, bukan berarti desain bukan untuk Anda. Semuanya membutuhkan pembiasaan, kesabaran, dan komitmen. Ketika kita jatuh di satu sisi, maka bangkitlah di sisi itu, bukannya malah mengatakan "tidak bisa". Ayah saya, sebagai orang yang terus memotivasi dan mendorong saya, sering berkata kepada saya bahwa kata-kata seperti itu justru yang menjatuhkan kita, mensugestikan diri kita sendiri untuk mundur. Maka dari itu, saya terus mencoba, belajar, dan juga sabar.

Masih hangat di ingatan saya ketika saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak dan disuruh menggambah gambar "legendaris" bagi semua anak Indonesia, yakni: dua gunung dengan satu matahari di tengahnya, lengkap dengan sawah dan jalanan menuju gunung. Saya pun masih mengingat kursus-kursus gambar yang telah saya lakoni, juga dengan serangkaian lomba umum yang pernah saya menangi dan ikuti. 

Dari gambar saya hanya sebatas garis-garis tidak bermakna, menuju gambar seorang stickman, menggambar orang-orang yang berbadan bulat, mata yang besar sebelah, tangan yang disembunyikan, hingga kini saya merambah ke dunia digital. Tentunya saya juga masih seorang amatir, masih belajar. Tetapi justru saat mengetahui hal itu, saya merasa senang. Saat kita sadar bahwa kita masih mempunyai kelemahan, di situlah kita tahu bahwa kita masih bisa berkembang.

17191003-1136269719835742-8376949002262345669-n-598c813be3a9a8086f107af4.jpg
17191003-1136269719835742-8376949002262345669-n-598c813be3a9a8086f107af4.jpg
Banyak potensi yang masih belum tergali di bumi pertiwi ini, kebanyakan terhalang oleh terpal yang kita sematkan di mata kita sendiri. Saya merasa senang, mengetahui bahwa ada sebuah wadah untuk menampung aspirasi akan hal ini. Baik halnya bila kita tidak melihat pelukis ataupun pekerjas seni sebagai pekerjaan yang tidak terpandang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun