Di sebuah warung tidak jauh dari gang menuju kamar tempat tinggalnya, Lita berpapasan dengan seorang ibu yang menggendong anaknya. Ibu dengan kerut langit malam menghias bagian bawah mata, rasuk ke dalam tiap jengkal napas paru-paru Lita yang menekan-nekan tulang-tulang rusuknya, sebelum terdampar di pulau yang terjalin oleh akar-akar serabut berwarna merah muda dalam bentuk awan mendung yang terus menggantung tiap-tiap malam sesudahnya. Adegan demi adegan yang berlangsung sepersekian detik takada luput darinya. Bau badan apak juga kecut menusuk hidungnya. Bintik-bintik keringat mengilap oleh lampu pijar warung, tidak kalah dengan kulit legamnya, tanda kasih sayang matahari yang gemar membakarnya. Baju atasan kebaya batik motif bunga-bunga ungu bermekaran. Dan kain jarit coklat melingkari pinggang sampai bawah kaki.
Bagian kecil-kecil muncul terperinci satu persatu, setelah kain jarit yang menjadi gendongan itu muncul membayang, mengingatkan Lita pada sensasi darah yang turun kalah cepat dengan jatuhnya tubuh dalam ayunan sederhana dari kain tersebut, begitu cepat namun membekas dalam semburat masa lalu. Persis Lita ketika masih sepantaran anak yang digendong ibu itu. Berambut tipis agak ikal. Mata lebar menerawang. Mulut terbuka seperempat, sesekali masuk sedikit ingus yang meleleh, sedang sakit, sebelum dilap oleh tangan ibunya yang kerut-kerut.
Lita sedang membeli sebotol air minum di warung itu, begitu ibu dan anaknya yang digendong muncul dari bagian lain yang tertutup malam, datang dan menanyakan pertanyaan yang kerap membekas di benak Lita.
“Teh, ada sosis?” kata ibu itu sambil menyebutkan makanan ringan sosis sebuah merk tertentu.
“Aduh, gak ada Bu. Lagi habis.”
Tersenyum, mereka berdua pergi melongos meninggalkan pemilik warung, juga Lita yang berada diam di sana, seperti sebuah potret yang membuat dunia menjadi sunyi, hingga tangis anak yang digendong ibunya redam dan membaur ke dalam sepi. Malamnya dari teras kamar, Lita memandang lengkung langit, yang sesaat dirasa turun ke bawah kelopak mata ibu yang menggendong anaknya itu, bersama bintang-bintang berkilap di sekitar wajahnya. Perasaan Lita mengatakan dia akan bertemu lagi dengan mereka, yang diyakininya begitu saja oleh perasaan entah muncul dan menggantung seperti langit malam yang dipandanginya saat itu. Ingin lepas dari jerat malam, Lita akhirnya memaksa memeluk mesra bantal dan guling yang kelak membawanya kepada pagi, di mana embun menguap menjadi tiada lagi. Begitulah tampaknya.
Seperti sebuah adegan dalam naskah, pertemuan itu terjadi kembali. Lita sedang membeli pulsa di warung yang lain, tidak begitu jauh dari warung pertama. Bau apak juga kecut merangsang hidung Lita, sebelum dia menoleh dan datang ibu dengan anaknya yang digendong, menghampiri pemilik warung dengan menanyakan hal serupa. Adakah makanan ringan sosis dijual di sana.
“Tidak ada, Bu.”
Sepandang tanda tanya mengarah dari Lita, seperti arwah penasaran yang menuntut segala yang mengganjal menjadi jelas. Dan arwah penasaran itu berbalik terus bergentayang mengusik Lita, ketika mereka berdua melongos pergi ditelan gang-gang sempit yang minim cahaya, berbaur dengan selokan mampat yang bau, selain lembapnya lumut yang membuat pengap dada Lita terasa. Lita sebenarnya berharap, ibu itu mengenalnya, setidaknya pernah melihatnya sehingga securah senyum melintas dan diarahkan kepadanya. Namun, mengharap terlalu besar, arwah penasaran justru yang tercurah kepadanya. Menyebabkan Lita mesti bermesraan dengan arwah penasaran tersebut, yang mampu membuat bantalnya basah keesokan paginya.
Apakah dejavu yang dirasakan Lita, ketika adegan demi adegan muncul seperti gulungan film yang diputar berulang-ulang. Sekadar membuat yakin dirinya, terdorong oleh alasan entah, Lita keluar pada sepertiga malam. Selanjutnya dia mengalami dejavu lagi, begitu dia mengganggapnya. Lita memergoki ibu dan anaknya yang digendong di warung yang lain, lebih jauh dari kedua warung sebelumnya. Masih menanyakan hal yang sama. Adakah makanan ringan sosis yang dijual di sana.
“Tidak ada, Bu.”
Anak yang digendong kecewa, merengut wajahnya. Si ibu mengerti dan segera menghibur, khawatir rengut wajah anaknya berubah menjadi raksasa yang menarik perhatian. Orang-orang yang berjalan melewatinya akan melirik sekilas dengan wajah resah, sebelum berlalu kemudian. Orang-orang yang tertidur akan terbangun, nada-nada sumbang menyanyikan lagu kesal keluar tentu, sebelum bantal atau guling membenam kepala mereka, menariknya jauh kembali ke alam mimpi. Orang-orang yang hendak mencongkel jendela berhenti, mengurungkan niatnya dan kabur sebelum mereka yang tertidur di kamar bangun dan melihat ulahnya. Orang-orang yang sedang bermain permainan elektronik, tetap takacuh dan terus melanjutkan asyiknya bermain yang menjadi dunia impian anak-anak dan juga yang sudah dewasa. Orang-orang yang penasaran apa yang menyebabkan anak itu menjadi raksasa akan tetap memendam rasa penasarannya, seperti Lita yang tidak sempat mencurahkannya.
Terduduk di teras kamar beberapa hari setelahnya, Lita merenung. Pendar-pendar lampu rumah dan kendaraan yang lalu-lalang seakan ingin menandingi butiran gemintang yang menetes berkilau dari langit malam di kedua telaga Lita, di mana pandangan keduanya tertuju pada sebuah nomor telepon rumah yang tidak bernama. Dadanya naik turun. Namun, bayangan ibu dan anaknya yang digendong melongos pergi, menyadarkannya kembali.
“Yah, ini aku Lita, minggu depan aku mau pulang.”
Lita diam tidak menggubris apa kata orang di seberang sana.
“Aku mau nyekar Ibu.”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H