Mohon tunggu...
Any Rufaidah
Any Rufaidah Mohon Tunggu... -

Belajar Psikologi Sosial. Tertarik pada kajian-kajian sosial dan media

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Memori Kolektif atas Peristiwa 1965-1966

5 April 2011   09:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:06 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Any Rufaidah

11 Maret  lalu, Romo Magnis menulis pengalaman dan analisisnya tentang peristiwa menjelang Supersemar 1966 (Kompas, 11/3). Pada bagian akhir tulisan, Romo Magnis menyampaikan pertanyaan fundamental khas kajian-kajiannya selama ini, filsafat. Kalimat lengkapnya adalah: “Tak jelas mengapa kejahatan itu dilakukan. Sampai hari ini tak ada pengakuan terhadapnya. Cukup memusingkan mengapa sebagian besar bangsa Indonesia tak pernah menunjukkan tanda terkejut berhadapan dengan kekejaman dan kejahatan sedemikian banyak warga sebangsa.”

Pertanyaan tersebut memancing saya untuk mencari jawaban. Apakah bangsa Indonesia sesungguhnya adalah bangsa yang liar, yang setuju pada kekerasan? Jika kita percaya pada teori Sigmund Freud, Gustav Le Bon, atau Konrad Lorenz, maka jawaban ini benar. Namun, teori Freud, Le Bon, maupun Lorenz tidak cukup memadai untuk menjelaskan pertanyaan Romo Magnis. Manusia tidak hanya hidup dengan insting. Manusia tumbuh dalam lingkungan sosial. Sikap dan perilakunya merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud di sini dapat berupa nilai, norma, informasi, dan pengetahuan.

Dalam hemat saya, “diam”nya bangsa Indonesia atas kekejaman dan kejahatan 1965-1966 tak lain karena politik memori kolektif yang sudah terlanjur digelindingkan oleh pemerintah Orde Baru dengan desain yang sangat tertata. Kita tahu informasi-informasi apa yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru terkait dengan peristiwa 1965-1966. Kejahatan 1965-1966 dikatakan didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Informasi tersebut dijejalkan pada memori jutaan orang Indonesia dengan berbagai cara, melalui propaganda, pernyataan publik, film, dokumentasi gambar, tugu dan monumen, budaya, dan buku sejarah untuk siswa SD-SMA. Dengan cara semasif itu, dapat dibayangkan bagaimana memori yang terbentuk kemudian.

Menyusul runtuhnya rezim Orde Baru, kebebasan bersuara mendapat jaminan dari negara –meskipun sikap anti-kritik Orde Baru masih ditemui di kalangan birokrat. Wadah-wadah kajian kritis terhadap peristiwa-peristiwa kemanusiaan, antara lain Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mengenai pembantaian 1965, dan upaya memeriksa kembali peristiwa-peristiwa kemanusiaan, misalnya terhadap pembantaian di Timor Timur, perkosaan pada Mei 1998, pembantaian Lampung 1989, peristiwa Tanjung Priok 1984 (Nurdholt, Purwanto, Saptari, 2008) mendapat tempat setelah runtuhnya Orde Baru. Upaya mengkaji kembali peristiwa kemanusiaan pada akhirnya menghasilkan temuan-temuan baru yang berbeda sama sekali dengan apa yang ditulis oleh pemerintahan Orde Baru.

Salah satu temuan kajian kritis atas peristiwa 1965-1966 adalah keraguan atas peran PKI dalam peristiwa 1965-1966. Temuan tersebut berkonsekuensi pada perubahan materi pelajaran sejarah nasional Indonesia. Tepatnya pada  tahun 2004, buku pelajaran baru tidak mencantumkan kata “PKI” di belakang kata “G30S”. Namun perubahan tersebut segera ditolak oleh masyarakat. Mereka menolak penghapusan peran utama PKI dalam gerakan 30 September. Dengan kata lain, bagi mereka PKI tetaplah dalang peristiwa 1965-1966 meskipun hasil kajian dan kesaksian para korban PKI menyatakan hal berbeda. Hal ini adalah fakta keberhasilan politik memori kolektif Orde Baru. Di kalangan akademisi, aktivis, dan pegiat kajian sejarah kritis, peristiwa 1965-1966 tidak lagi diterima didalangi oleh PKI, namun di kalangan masyarakat awam, yang terjadi adalah sebaliknya. Saya pernah menemui hal ini di daerah saya. Di sana, pandangan “tidak sholat” pada orang yang dicap PKI masih berlaku hingga saat ini. Anak atau cucu orang yang dicap PKI tidak dikehendaki menjadi menantu, meskipun anak yang bersangkutan tidak ada sangkut pautnya dengan PKI.

Politik memori kolektif dilancarkan melalui kebudayaan pula. Kajian kritis atas politik ini pernah dilakukan oleh Geoffrey Robinson (2005) dalam konteks Bali. Hasil penelusuran intelektual Robinson menemukan bahwa peristiwa 1965-1966 yang menewaskan kira-kira 80.000 orang (sekitar 5 persen dari keseluruhan penduduk Bali) umumnya selain dilukiskan sebagai akibat dari campur tangan komunis, Sukarnois, dan orang Jawa, dilukiskan pula sebagai hasil dari “kultur” orang Bali yang gemar menjadi kesurupan.

Hingga 45 tahun Supersemar ini, memori miring atas PKI belum juga musnah. PKI tetaplah pelaku pembantaian dan Soeharto tetaplah penyelamat bangsa Indonesia. Pemerintah Orde Baru telah berhasil menyelamatkan diri hingga detik ini dengan senjata politik memori kolektif. Itulah jawaban mengapa sebagian besar bangsa Indonesia tidak menunjukkan tanda terkejut atas kejahatan kemanusiaan yang telah berlangsung. Sekalipun semakin banyak orang yang melek sejarah, pada faktanya, memori kolektif tetap berjalan. Tampaknya pemerintah Orde Baru sadar benar bahwa senjata yang paling ampuh untuk menghindari amuk massa adalah senjata memori atau kesadaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun