Mohon tunggu...
Any Rufaidah
Any Rufaidah Mohon Tunggu... -

Belajar Psikologi Sosial. Tertarik pada kajian-kajian sosial dan media

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekerasan dan Ketidakadilan Sosial

25 Maret 2011   08:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:27 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Any Rufaidah

Di antara berbagai pendapat (atau tesis) mengenai penyebab kekerasan, ada yang menyatakan bahwa kekerasan disebabkan oleh ketidakadilan sosial. Pendapat ini senyatanya banyak mendapat dukungan dari para akademisi maupun pengamat perilaku massa kontemporer. Bahkan, pendapat ini adalah yang paling banyak disetujui. Hal itu terlihat dari banyaknya seminar, konferensi, atau workshop yang menyandingkan ‘kekerasan’ dengan ‘ketidakadilan’.

Di dalam psikologi sosial, kekerasan salah satunya dijawab oleh teori frustrasi-agresi. Teori ini menunjukkan bahwa kekerasan berhubungan erat dengan ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial diartikan sebagai keadaan di mana setiap orang (dalam komunitasnya atau dalam masyarakatnya) tidak mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek, ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan sebagainya. Teori yang dikembangkan oleh Dollard dkk ini memang tidak pernah menggunakan istilah injustice¬-aggression, namun studi-studinya telah mengarah pada hubungan kekerasan dan ketidakadilan sosial. Teori frustrasi-agresi menemukan banyak fakta bahwa konflik dan kekerasan lebih banyak terjadi pada keluarga miskin (misal, Straus dkk, 1981). Kemiskinan sendiri adalah indikasi ketidakadilan sosial dalam hal ekonomi. Studi Hovland, Sears, & Mintz (1940; 1946) tentang hubungan turunnya harga katun dengan banyaknya hukuman mati pada warga negro mengarahkan pada hubungan tersebut.

Dalam konteks riil (bukan eksperimen), banyak peristiwa kekerasan disebabkan oleh ketidakadilan sosial. Tragedi Sampit yang menewaskan ribuan korban, misalnya, ternyata disulut oleh ketidakadilan dalam hukum. Suku Dayak beberapa kali menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan oleh orang Madura, namun hukuman yang diberikan kepada orang Madura sangat ringan, bahkan beberapa kali sama sekali tidak ada proses hukum. Misalnya, pada tahun 1982, pengusutan secara hukum terhadap orang Madura yang membunuh orang Dayak tidak ada. Pada tahun 1996, hukuman terhadap orang Madura yang memperkosa gadis Dayak sangat ringan. Sementara ketika orang Madura terbunuh pada perkelahian (tahun 1997), hukuman terhadap orang Dayak sangat berat (LMMDDKT, 2001). Ketidakadilan tersebut pada akhirnya menyulut kemarahan Suku Dayak dan kemudian terjadilah tragedi Sampit.

Pecahnya genosida Rwanda pada tahun 1994 didahului oleh ketidakadilan sosial pula. Tepatnya pada saat memegang kekuasaan atas Rwanda, Belgia memperlakukan Suku Tutsi lebih tinggi dibanding Suku Hutu dan Suku Rwa. Suku Tutsi diberi fasilitas publik, pekerjaan, dan pendidikan yang lebih baik selama 20 tahun. Akibatnya, Suku Hutu marah dan pada akhirnya melakukan balas dendam. Mereka menghabisi sekitar 1 Juta Suku Tutsi dan Suku Hutu yang tidak mendukung genosida. Kejadian lainnya adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemberontakan yang disusul oleh kekerasan tersebut adalah reaksi atas kebijakan mendirikan proyek-proyek multinasional di Aceh (sejak tahun 1970) yang dibuat oleh Presiden Soeharto. Dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan oleh GAM dipicu oleh rasa ketidakadilan sosial dalam hal ekonomi.

Hubungan kekerasan dengan ketidakadilan sosial terlihat pula pada peristiwa-peristiwa besar dunia, misalnya Revolusi Perancis. Revolusi yang diwarnai dengan pembakaran, penyerangan, dan pembunuhan tersebut merupakan protes terhadap absolutisme kerajaan, dominasi, sistem ekonomi yang buruk, sistem pajak yang tidak seimbang, dan ide pencerahan yang mencoba merevisi kepercayaan-kepercayaan tradisional. Peristiwa ’98 bisa dilihat dengan pandangan yang sama. Pecahnya kekerasan di berbagai daerah (tidak hanya di Jakarta) jelas merupakan protes yang keras terhadap ketidakadilan sosial Orde Baru.

Berdasarkan asumsi tersebut, bahwa kekerasan disebabkan oleh ketidakadilan sosial, maka kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap teman, adalah akibat ketidakadilan sosial –displacement dan scapegoat yang diperkenalkan oleh teori frustrasi-agresi sekiranya cukup memadai untuk memberi penjelasan. Asumsi ini akan menjadi lebih kuat jika pelaku kekerasan ternyata adalah orang-orang miskin atau kelompok minoritas. Dalam konteks Indonesia, survei mengenai pelaku kekerasan seperti halnya di Amerika memang belum marak dilakukan, namun bukti-bukti dalam kehidupan sehari-hari di mana fenomena penjualan anak terjadi di kalangan keluarga miskin sudah bisa menjawab bahwa kekerasan disebabkan oleh ketidakadilan sosial.

Asumsi ini kemungkinan akan mendapat bantahan seperti yang diajukan kepada teori frustrasi-agresi. Namun dalam hemat penulis, ketidakadilan sosial adalah penyebab primer dari kekerasan karena ia menyangkut hak, sesuatu yang prinsipil pada diri setiap orang. Ketika hak tidak terpenuhi, maka yang terjadi adalah kekerasan. Peristiwa-peristiwa yang telah disebutkan di atas adalah sebagian buktinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun