Hal yang serupa terjadi juga pada masyarakat Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta pada masa era Kerajaan Mataram Baru konon juga ramai-ramai dan sibuk membeli baju baru untuk keperluan lebaran, atau setidaknya dengan menjahit baju sendiri.
Sangat disayangkan, kendati tradisi membeli baju baru menjelang lebaran ini masih terpelihara hingga kini, namun sebagian masyarakat masih saja berkerumun dan tidak mengabaikan protokol kesehatan di masa Pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, untuk membeli baju baru.
Himbauan sudah diberikan agar waspada, tidak berkerumun dalam merayakan Idul Fitri di masa Pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, namun masih saja banyak yang nekad.
Aktivitas apa pun di masa Pandemi Covid-19 seperti sekarang ini aturan protokol kesehatan tetap harus diperhatikan. 3M.
Memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun.
Membeli baju baru menjelang lebaran ini juga ada disebut-sebut oleh orang Belanda, Snouck Hurgronje.
Snouck Hurgronje yang adalah Penasehat Urusan Pribumi untuk Pemerintah Kolonial menulis dalam bukunya yang berjudul "Nasihat-nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936 Jilid IV" bahwa dalam perayaan mereka saling bertandang antar kerabat, makan khusus, menghadirkan hiburan tertentu, dan membeli pakaian baru.
"Mereka" yang dimaksud adalah orang-orang pribumi yang beragama Islam. Menyediakan hidangan khusus, barangkali yang dimaksud di sini adalah hidangan khas lebaran seperti yang kita kenal sekarang ini.
Saling bertandang antar kerabat. Dimaksudkan di sini adalah saling bersilaturahmi, maaf-maafan, mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri atau Minal Aidzin Wal Faidzin.
Hiburan yang menggembirakan dapat diartikan musik-musik, lagu-lagu, atau tarian sebagai bentuk kegembiraan tibanya hari yang Fitri.
Sedangkan membeli baju baru berarti sama seperti sekarang ini, yaitu membeli pakaian baru untuk dipakai di hari raya Idul Fitri.