Dalam pertemuan pertamanya setelah Jenderal Min Aung Hlaing mengkudeta Aung San Suu Kyi dari jabatannya sebagai pemimpin Myanmar, pria diktator berusia 64 tahun tersebut mengatakan pengambilalihan di Myanmar tidak terelakkan.
"Setelah beberapa kali pengajuan kecurangan pemilu, apa yang terjadi sekarang tak terhindarkan. Kami mengambil keputusan tersebut," kata pemimpin kudeta, Rabu (3/2/2021) kepada Channel News Asia.
Cikal bakal yang memicu tindakan pengambilalihan kekuasaan mutlak tersebut dipicu oleh kalahnya USDP (Union Solidarity and Development Party), alias partainya para militer pimpinan Min Aung Hlaing dari NLD (National League for Democracy) pimpinan Aung San Suu Kyi.
USDP menganggap telah terjadi kecurangan yang dilakukan NLD, sehingga hasil pemilu itu dianggap tidak sah.
Konon Aung San Suu Kyi telah ditahan untuk sementara sampai dengan akhir bulan, begitu juga dengan Presiden Win Myint. Penguasa baru juga telah menunjuk menteri-menterinya menggantikan menteri-menteri rezim Suu Kyi.
Apa pun yang terjadi paska kudeta tersebut, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia tentu menyorot nasib sesamanya, Muslim Rohingya yang mendapatkan tekanan, baik dari penguasa sebelumnya Suu Kyi, maupun sesudah kudeta ini.
Mana yang lebih kejam antara sikap Aung San Suu Kyi dengan Min Aung Hlaing dalam tindakannya melakukan kekerasan terhadap Muslim Rohingya?
Direktur Human Rights Network, Kyaw Win, menjelaskan jika kekejaman Suu Kyi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Min Aung Hlaing.Â
Kyaw Win mengibaratkan jika Suu Kyi adalah "monster" bagi etnis Rohingya, sedangkan Hlaing dinilainya jauh lebih bengis. Menurut Kyaw Win, Hlaing bahkan memiliki motto "Tidak ada Rohingya di Myanmar".
Tim Pencari Fakta PBB juga menemukan bukti-bukti kebengisan Hlaing. Hlaing sangat dikecam dunia. Pada tahun 2017, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson memperingatkan agar Hlaing menghentikan tindakannya.
Akan tetapi Hlaing tak bergeming sama sekali, dia tetap meneruskan kekejamannya.