Bukan diary sendiri. Katakan ini diary dari seorang perempuan bernama Diah, bukan nama sebenarnya.
Entah apakah pernah diadakan penelitian tentang dampak "hening" dari keseharian kita. Dalam dunia modern dan serba digital sekarang rasanya sulit bagi kita untuk menjauhkan diri dari segala macam benda teknologi tersebut.
Dulu sebelum ada televisi, hiburan mereka yang elekronik paling-paling radio untuk mendengarkan lagu-lagu, siaran berita, dan sebagainya.
Lalu ditemukan televisi, kendati pun masih hitam putih. Negara kita baru memiliki satu stasiun televisi yang dikelola oleh pemerintah dan BUMN, yaitu TVRI mulai tahun 1962.
Kemajuan pun kian beranjak, layar kaca menjadi berwarna. Bukan saja TVRI, swasta pun mulai ikut berperan sebagai operator nya.
Semenjak Diah menikah dan mempunyai dua orang anak, Diah merasakan pekerjaan rumah tangga yang dihadapinya seolah-olah tiada hentinya. Dari bangun tidur sampai ke tidur malam lagi, yang terjadi cuma itu-itu saja. Menyesakkan!
Diah merasa hiburan satu-satunya yang ada hanyalah televisi. Secara kebetulan, ruangan rumah mereka memungkinkan benda layar kaca itu diletakkan di suatu tempat yang jadinya bisa disaksikan dari dapur atau pun dari ruang keluarga.
Dunia rasanya sepi jika tidak ada layar kaca. Sembari bekerja di dapur atau ngobrol dengan suaminya, menemani anak-anak makan, berinteraksi dengan anak-anak. Semua dilakukan di depan layar kaca.
Televisi bahkan tetap begitu saja menyala hidup walaupun sedang tidak ada yang menontonnya.
Lama kelamaan, Diah mulai menyadari jika dengan secara membabi-buta terlalu sering menyaksikan tayangan benda elektronik itu berpengaruh kepada penurunan produktivitasnya.
Suami Diah pun ikut mengamini kondisi seperti itu. Diah dan suaminya berembug untuk menyimpan benda layar kaca tersebut sementara waktu. Tidak diketahui dimana televisi itu disimpan, apakah di gudang, atau di tempat lainnya.