Tiga kriminal itu adalah korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan narkoba.
Seseorang dilarang mengikuti pencalonan menjadi anggota legislatif, jika sebelumnya mereka sudah melakukan tiga kriminal di atas.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, sejumlah Bacalon DPR dan DPD mengirim uji materi "mantan napi korupsi" ke laboratorium Mahkamah Agung (MA).
Hasilnya, MA menerima usulan tersebut dan membatalkan PKPU mantan napi korupsi dilarang menjadi bacalon DPR dan DPD.
Untuk Pilkada Serentak 2020 nanti, kembali PKPU memasukkan pasal larangan bagi mantan narapidana korupsi ikut pencalonan kepala daerah.
Alhasil, trauma masih mengiang, bacalon kepala daerah akan melakukan uji materi lagi ke MA. Dan dibatalkan lagi.
Untuk itu, sebaiknya KPU mengusulkan kepada DPR baru periode 2019-2024 yang dipimpin oleh Puan Maharani, agar merevisi menguatkan UU Pilkada, apa-apa yang masih dirasakan lemah. Termasuk di dalamnya, memasukkan larangan bagi mantan narapidana korupsi mengikuti pencalonan Kepala Daerah.
Hal tersebut sejalan dengan semangat KPK untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Kasus Bupati Kudus, M Tamzil, yang tertangkap tangan melakukan korupsi Juli lalu, menjadi pemicu munculnya usulan agar UU Pilkada direvisi dengan melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah.
M. Tamzil yang Bupati Kudus pernah menghuni rutan karena terlibat kasus korupsi. Tapi setelah menghirup udara bebas, dia mencalonkan diri lagi ikut pemilihan Bupati Kudus.
Dan Tamzil terpilih lagi menjadi Bupati Kudus tahun 2018. Tamzil pun menyalahgunakan lagi jabatannya, korupsi lagi!