Beberapa waktu lalu, timbul ide dari anggota Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), Rahmat Bagja, UU terakhir tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, agar direvisi.
Bagja menyatakan beberapa aturan dalam Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) sudah tidak sinkron lagi dengan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Tidak sejalan dengan UU Pemilu dimaksud adalah dalam UU Pilkada tidak diatur soal penanganan perkara secara in absentia.Â
In absentia disini adalah menangani suatu perkara yang timbul tanpa dihadiri oleh si tersangka. Hal tersebut dapat berakibat si tersangka menghilang entah kemana, dan kasus menjadi kadaluarsa ketika perkara masuk dalam tahap persidangan.
Ada juga perihal penyelesaian perkara perselisihan administrasi.Â
Yang lain,soal peran Bawaslu. Selama ini untuk kota/kabupaten pengawasan dilakukan oleh panwas (panitia pengawas).
Dan yang tak kalah penting dan berkaitan dengan semangat KPK untuk memberantas korupsi, adalah harus dicantumkannya larangan bagi mantan napi koruptor mendaftarkan diri sebagai calon pemilihan kepala daerah.
Bagja mengatakan, soal itu (pelarangan mantan napi korupsi ikut pencalonan Kepda) sangat penting dicantumkan dalam undang-undang Pilkada, bukan hanya sekedar PKPU (Peraturan KPU).
Tahapan proses Pilkada Serentak 2020 sudah dimulai pada 30 September 2019. Nantinya, akan terpilih 270 kepala daerah yang terdiri dari Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati dan Wakil Bupati. Juga Walikota dan Wakil Walikota. 9 propinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Adapun biaya penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 tersebut diperkirakan mencapai Rp 16 triliun. Adapun waktu pemungutan suara pada 23 September 2020.
Dalam syarat pencalonan anggota legislatif 2019 lalu, PKPU menyebutkan ada tiga bentuk kejahatan yang dilakukan bagi calon legislatif yang tidak diperbolehkan mengikuti pencalonan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD.