Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Indra Penciuman Manusia Tidak Sebaik Spesies Lain?

24 April 2018   09:55 Diperbarui: 24 April 2018   10:16 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SUMBER GAMBAR: Handout/Bobi

Indra penciuman adalah indra yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar dengan mudah dengan mencium aroma makanan tersebut.

Di dalam rongga hidung terdapat rambut-rambut halus yang berfungsi untuk menyerap kotoran yang masuk melalui sistem pernafasan. Selain itu ada juga konka nasal superior yang berfungsi untuk mendeteksi bau-bauan yang masuk melalui hirupan nafas.

Tahukah Anda, selama berabad-abad beredar mitos bahwa indra penciuman manusia tidaklah sebaik spesies lain? Sebuah studi terbaru telah mematahkan mitos tersebut.

Dalam studi yang dilaporkan di jurnal Science itu, John McGann, pakar neurologi dari Rutgers University, menganalisis sejumlah literatur sejarah dan penelitian terdahulu yang membuat orang memiliki kesalahpahaman tentang inferioritas indra penciuman manusia.

McGann menguak bahwa anggapan tentang kemampuan membau manusia yang lemah bersumber dari Paul Broca, ahli bedah otak dan antropolog abad ke-19. Pada 1879, Broca menulis bahwa volume area olfaktori dalam otak manusia jauh lebih kecil dibanding area otak lain. Tidak seperti mamalia lain, manusia tak perlu mengandalkan indra penciuman untuk bertahan hidup.

Teori Broca ini begitu berpengaruh sampai-sampai pakar neurologi Austria yang juga bapak psikoanalisis, Sigmund Freud, turut meyakini bahwa inferioritas indra penciuman manusia telah membuat kita lebih rentan terhadap gangguan mental.

Faktanya? Memang, bulbus olfaktori kita - hanya 0.01 persen dari total volume otak (bandingkan dengan 2 persen pada tikus). Namun, ditinjau dari proporsi ukuran, organ olfaktori manusia sesungguhnya cukup besar (60 milimeter pada otak dewasa).

Selain itu, jumlah saraf olfaktori manusia hampir sama dengan mamalia lain. Ini membuat manusia sanggup mendeteksi nyaris 1 triliun jenis bau yang berbeda. Hanya saja, manusia mungkin memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap bau tertentu jika dibandingkan dengan anjing atau tikus.

Sepanjang hari, sel-sel khusus dalam hidung menangkap zat kimia dari luar, lantas mengirimkan sinyal ke bulbus olfaktori. Bulbus ini lantas mengirim informasi ke bagian otak lain yang akan menghubungkan bau tersebut dengan stimulus di lingkungan, bahkan memori dan emosi kita.

"Manusia sanggup menyusuri jejak bau," tegas McGann. "Perilaku dan afektif kita juga dipengaruhi indra penciuman."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun