Prapto Dimulyo Suwardi (79), pria yang akrab disapa Eka ini memang liat. Ia berani melayani kehidupan di ibu kota Jakarta di sebuah mobil Fiat buatan tahun 1960. Terciptalah baju, celana, kebaya, rok atau sekedar vermak jeans, dan menambal kain yang masih laik pakai. Semua aktivitas itu dilakukannya di dalam kendaraan tua yang dibelinya sejak 1979 lalu. Ia lakukan layanan sebagai penjahit demi mencukupi pembayaran kios jahitnya yang saat itu sedang dipugar pemerintah.
Siang itu terasa terik menyengat. Panas matahari menembus di sela pepohonan besar di belakang pasar Santa, kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun, Eka tak bergeming. Ia mengasuh pijakan mesin tua dan tangannya memegang serta mengatur bagian kain yang akan ditusukkan jarum benang.
"Selepas waktu Dzuhur saya jahit di mobil ini," katanya semangat. Berbagai baju, celana jeans, kebaya, dan kain panjang itu akan ia servis jadi busana yang layak pakai. Ia pun menerima pembuatan baju atau celana baru termasuk kain gorden. Untuk sehari-hari, Eka acap kali menerima 5-10 potong pesanan. Bahkan, di antara pesanannya itu ia sanggup mengerjakannya dalam satu hari. Juga, tidak saja dari orang-orang sekitar Pasar Santa yang sering menitip jahitkan kepadanya, ada beberapa orang yang cukup jauh yang sudah menjadi pelanggannya pun masih mempercayakan hasil jahitan kepada Eka.
Eka tidak sendiri. Dalam kawasan Pasar Santa masih ada 3 orang yang berprofesi sebagai penjahit pakaian. Namun, hanya Eka yang memiliki kios dalam mobil antik itu selain punya satu kios yang diberi nama "Eka Taylor" dalam lokasi pasar tersebut.
"Bagi saya, kerja sebagai penjahit seperti saat ini adalah sebagai penghibur bukan hanya ngejar materi atau uang semata," katanya. Makanya, tidak heran bila di usia yang senja ini tidak nampak lelah di wajahnya meskipun sedang berpuasa.
Meski pernah mengalami masa sulit, di mana ia harus berpindah dari kios yang sedang dipugar ke mobil tua miliknya itu. Pastilah, pelanggan maupun orang yang mau servis baju atau kain pun akan berkurang yang datang kepadanya. Dan, selain berpikir untuk menebus kembali toko barunya itu, ia pun harus membiayai anaknya lulus kuliah. Tetapi, Eka sangat yakin bahwa Tuhan sedang memberikannya kesempatan untuk maju dalam usahanya. Pada akhirnya, sejarah panjang perjalanan usaha yang dirintis melalui kendaraan antiknya itu dapat melewati masa sulit itu dengan baik.
"Daripada jadi buruh besar lebih baik jadi majikan kecil," itulah kata-kata yang sering disampaikan kepada anaknya, Wahyudi. Pesan sang bapak itulah yang akhirnya menjadikan putranya kini juga memiliki usaha sendiri selepas kuliah.
Kini, alumni Sekolah Guru di kota Solo ini tidak lagi diburu untuk sesegera mungkin melunasi kiosnya. Harapannya kini, ia ingin memiliki pegawai yang bisa membantunya di usianya yang sudah senja. Seperti senja yang sedang menyapa satu kawasan elit di Kebayoran Baru ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H