"Semua orang bisa merasakan hal ini, yang membedakan adalah respons dari masing-masing orang tersebut, ada yang secara terbuka mampu mengekspresikan perasaan ada yang memilih untuk dipendam," tandas Ami.
Lantas, bagaimana "cinlok" berpotensi menjadi masalah?
Tyas menjelaskan, cinta merupakan afeksi manusiawi yang bisa dikatakan paling menguras emosi baik positif maupun emosi negatif. Nah, luapan emosi inilah yang dikhawatirkan akan memengaruhi objektivitas yang dituntut dalam dunia kerja atau profesional.
"Ini karena saat seseorang jatuh cinta, ia bisa menjadi penuh energi dan secara sadar maupun tidak akan memacu diri untuk melakukan hal yang terbaik. Fenomena ini sebenarnya salah satu imbas positif dari jatuh cinta yang bertujuan untuk meningkatkan nilai diri," ungkap Tyas.
Akan tetapi, tak bisa dipungkiri, jatuh cinta juga mendorong seseorang menjadi lebih sensitif. Ada keinginan untuk sesering mungkin bersama si dia yang sedang menjadi bintang hati. Ketika bersama pujaan, maka kebahagiaan, rasa optimis, juga penilaian terhadap diri sendiri (self-esteem) pun meningkat.
"Namun, pada saat yang sama, situasi kantor menuntut interaksi yang egaliter diantara rekan kerja. Artinya, 'dilarang' ada kecemburuan, kecurigaan, atau memilih rekan kerja tertentu karena alasan cinta," Tyas mengingatkan.
Situasi seperti inilah yang hendak dicegah atau diantisipasi oleh pihak kantor. Tak jarang, atasan atau bos cukup dag-dig-dug saat mengetahui ada anak buahnya yang terlibat cinta lokasi, terlebih jika keduanya adalah karyawan potensial.
Menyoal "nilai" atau kadar sebuah cinta lokasi, Ami mengungkapkan bahwa rasa cinta berawal dari daya tarik terhadap pasangan yang tumbuh menjadi rasa ingin memiliki, ingin selalu bersama, ada rasa khawatir, dan lain-lain. Karena itu, kekuatan cinta memang perlu diuji.
"Munculnya rasa cinta bisa dimana saja, termasuk ketika pasangan sedang bersama-sama di dalam satu kegiatan, atau yang disebut cinta lokasi. Pertanyaannya kemudian: apakah cinta lokasi menjamin sebuah hubungan yang langgeng dan layak dipertahankan?" sanggah Ami.
"Langgeng atau tidaknya suatu hubungan tidak didasari oleh dari mana lokasi daya tarik dan cinta itu berasal, tetapi melalui proses yang disebut social penetration, teori dari pakar psikologi Irwin Altman dan Dalmas Taylor," lanjutnya.
Social penetration, jelas Ami, akan mengubah perasaan saling suka menjadi tingkat keakraban dan keintiman yang lebih tinggi. Disinilah setiap pasangan akan semakin melibatkan pasangannya dalam aspek kehidupan yang lebih luas, saling mengenal lebih jauh, dan berbagi mengenai hal yang bersifat lebih personal atau pribadi.