Beda halnya saat kita membaca Buddha - terbitan yang sama oleh KPG. Buddha memuat nilai moral dan sejarah yang kental tanpa mengesampingkan dominasi humor. Buddha membuat pembacanya tersenyum dengan memahami ajaran. Meskinya kosa kata, bahasa dan gambar bergaya humor lebih banyak ditampilkan dengan beragam angle di seri ini. Sebab kekuatan kartun kan ada di bahasa dan gambar. Mungkin juga karena Buddha dibuat berseri. Pertanyaannya, riwayat Amerika tadi kenapa nggak dirunut jadi seri oleh Larry?
Catatan terbaik, kartun ini telah dijadikan rujukan oleh siswa-siswa sekolah di Amerika Serikat untuk memahami sejarah bangsanya sendiri. Suatu alternatif pembelajaran yang baik di tengah merosotnya budaya baca siswa sekolah. Lalu bagaimana dengan siswa-siswa disini? Tampaknya keberuntungan belum berpihak. Riwayat Indonesia masih terjebak dengan bahasa formal tanpa imajinasi nakal gaya Larry. Hingga para siswa pun menghindar dan lebih banyak beralih ke Naruto, Crayon Sinchan atau Doraemon.
Saya ingat, dahulu di era 80-an pemerintahan Soeharto dalam mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) ada sebuah kartun yang wajib dimiliki oleh siswa sekolah bertemakan perjuangan merebut kemerdekaan. Ya cukup menghibur dan menambah wawasan sih. Tapi sayang yang dikultuskan disitu hanya Soeharto dan doktrinasi nasionalisme gaya orde baru.
Peran para pahlawan nasional dan peristiwa perjuangan yang lain porsinya sangat kecil bahkan nyaris tidak ada. Terus terang, saya ngiri dengan keberadaan kartun yang memuat pengetahuan, sejarah atau nilai moral produk impor. Sementara kartun karya anak negeri yang bercerita tentang sejarah dan budaya nusantara sulit ditemukan. Bukankah founding father kita, Bung Karno pernah menggelegar menyatakan, 'ini dadaku, mana dadamu'?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H