Ungkapan kata maaf seperti power glue yang begitu kuat mengikat dan bertahan lama di dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bekerja. Ungkapan tersebut akan banyak melakukan koreksi positif dari berbagai situasi yang terjadi; apakah sebuah kesalahan atau situasi ketidaknyamanan akibat kesengajaan maupun ketidaksengajaan.
Salah itu Manusiawi
Pada dasarnya setiap orang pernah bersalah dan tidak akan dapat berhenti dari berbuat kesalahan, dan salah itu berulang.
Jadi, seseorang berbuat kesalahan pada dasarnya adalah alami. Yang menjadi permasalahan hingga terjadi konflik adalah kebanyakan orang tidak rela untuk mengakui secara sadar kesalahan yang mereka buat. Dan yang terjadi dalam keseharian, banyak orang mencoba untuk menutupi kesalahannya dengan berdalih macam-macam. Tidak sedikit malah yang mencari "kambing hitam" atau membelokkan kesalahan tersebut kepada pihak lain - yang tentu saja dirugikan. Sebagai tenaga penjual profesional, keadaan terbaik adalah berani mengakui kesalahan, bahkan terkadang menanggung risiko kesalahan divisi/departemen lain untuk dijadikan bebannya. Itulah profesi terhormat!
Sebuah keadaan menarik terjadi di dunia bisnis pada umumnya, dalam dekade ini. Terutama pimpinan puncak perusahaan lebih banyak gagal untuk mengakui kesalahannya memimpin/mengambil keputusan strategis, daripada mengakui situasi terkait kinerja yang sedang tidak baik. Padahal faktanya, kinerja perusahaan merosot drastis. Ingat sebuah contoh beberapa periode lalu saat Bill Clinton menjabat Presiden Amerika Serikat dengan Monica Lewinsky sebagai karyawan magang. Rakyat Amerika menerima pernyataan salah Presiden Amerika Serikat yang rentan berbuat kesalahan. Tahun lalu terjadi reshuffle jilid 2 Kabinet Kerja, ketika Jokowi mengganti salah satu menteri kabinetnya karena faktor dwi kewarganegaraan.
Di samping itu masih banyak hiruk pikuk mengakui kesalahan dan tidak mengakui kesalahan atas keputusan yang sudah dibuat. Seperti kasus-kasus keabsahan audit BPK soal Sumber Waras, penghentian reklamasi, budgeting siluman UPS, jalan tol macet parah saat arus mudik, Terminal 3 Ultimate yang banjir dan bocor, kasus Hambalang, penyalahgunaan tanah negara oleh yang bukan berwenang. Siapakah yang mengakui kesalahan dengan "gentle" dan berapa banyak? Dan siapa yang suka cari-cari kambing hitam? Tentunya bisa kita pelajari dan petik bersama, betapa sulitnya mengakui dan mau mengatakan maaf atas situasi tersebut.
Proses yang Menantang
Mengeluarkan pernyataan dan permintaan maaf secara tulus merupakan proses yang sangat menantang bagi masyarakat kita pada umumnya. Banyak tenaga penjualan profesional merasa jika mereka mengungkapkan kata maaf, yang muncul dalam benak mereka adalah rendahnya harga diri, takut kehilangan kepercayaan pelanggan, tidak percaya terhadap produk/jasa yang ditawarkan. Namun, dalam situasi yang sama mereka tidak berani mengakui kesalahannya saat bekerja meski memiliki prinsip kuat akan pentingnya mengatakan yang sebenarnya pada keluarga inti mereka.
Sebagai pemimpin perusahaan, seharusnya mengungkapkan dan memohon maaf kepada pelanggan dari waktu ke waktu adalah hal biasa, terpuji, dan manusiawi. Dan sebagai tenaga penjual profesional tidak perlu ragu untuk membudayakannya.
Permintaan maaf kepada pelanggan tidak perlu saat Anda terjebak dalam situasi tertangkap basah. Sebelum pelanggan mengetahuinya sekalipun, permintaan maaf atas ketidaknyamanan dalam pelayanan, pengiriman, dan lain-lain, merupakan hal yang wajar dan dapat diungkap terlebih dahulu sebelum pelanggan menegurnya. Jadi kuncinya, permintaan maaf adalah tindakan wajar dan terpuji.
Menerima Risiko dan Tanggung Jawab