Saya suka sekali membaca biografi orang sukses mapun menonton biopic nya. Dari situ saya bisa mendapatkan begitu banyak manfaat, termasuk dalam hal mencari excuse ketika terbentur dalam mewujudkan rencana wirausaha saya.
Manfaat utama, tentunya adalah saya bisa mempelajari bagaimana perjalan hidup sang tokoh yang umumnya merayap dari bawah sampai mencapai posisi suksesnya sekarang ini (tentu saja biografi umumnya bercerita mengenai orang yang merangkak dari susah sampai kemudian sukses, atau kemudian berlanjut sampai kejatuhannya. Jarang yang bercerita dari posisi tertinggi lalu jatuh dan tidak bangkit-bangkit lagi). Berbagai buku mengenai kisah sukses sudah banyak saya baca di perpustakaan, terlebih yang bercerita mengenai keajaiban Silicon Valley yang berkaitan erat dengan American Dream. Sebut saja Fire in the Valley, Microsoft First Generation, The Google Story, The Silicon Boys, Under the Radar, The iCon dan sebagainya. Sedangkan untuk biopic, salah satunya adalah Pursuit of Happynes. Manfaatnya tentu saja adalah kita bisa menarik hikmah dari perjalanan bagaimana sebuah usaha dirintis, jatuh bangun sampai mencapai sukses besar. Dari semua yang saya baca, selalu ada bab yang menceritakan keuletan sang tokoh yang harus memulai dari nyaris tanpa modal
Beberapa buku menggambarkan bagaimana sang tokoh mendapatkan bantuan permodalan dalam usahanya. Yang banyak saya temui adalah kehadiran venture capitalist yang seakan dewa penolong dalam memperoleh bantuan permodalan untuk usaha yang dimulai bahkan di dalam garasi. Selebihnya, adalah bantuan dari pihak universitas, pengusaha besar yang tertarik membantu dan mungkin menjual aset yang tidak seberapa (kalulator scientific ataupun VW combi butut). Bahkan ada yang tidak menceritakan sumber modal, tahu-tahu ia sudah bisa memutar uang dan punya kantor kecil, padahal sebelumnya diceritakan sang tokoh hampir menjadi gelandangan.
Lalu, sayapun sibuk mencari excuse setelah mengetahui sumber modal mereka untuk memulai wirausaha. Kesempatan yang mereka dapatkan jelas berbeda dengan kondisi saya yang hendak memulai wirausaha kecil. Venture capitalist? Boro-boro, mencarinya dimanapun saya tidak tahu. Pihak universitas pun tak mungkin, karena mereka juga selalu butuh uang, yang tampak jelas saat memungut dana pembangunan setiap penerimaan mahasiswa baru. Bantuan pengusaha besar? Yah, kalau mereka melihat usaha kecil yang dirintis di dapur, mana mau mereka turun tangan. Jual aset pun tidak mungkin karena memang tidak seberapa, hanya menyusahkan saja (kalau saya jual sepeda motor saya, bagaimana caranya saya keliling menawarkan produk saya). Mencari di bank? Kalau tidak punya aset untuk diagunkan, jangan coba-coba. Akhirnya dengan segudang argumen tersebut, sayapun kembali menikmati zona kenyamanan saya di balik partisi di kantor sambil browsing internet dan melupakan impian untuk memulai usaha kripik bayam resep istri saya.
Suatu hari, saya dipinjamkan buku oleh sepupu saya, terbitan Kompas, judulnya Menjual Matahari. Isinya adalah kisah sukses usaha-usaha kecil yang dirintis oleh orang-orang yang sederhana dan tidak semuluk Silicon Boys. Mata saya menjadi terbuka. Ternyata di tanah air sendiri ada sekian banyak orang yang tidak manja. Mereka benar-benar memulai usaha dari nol dengan bermodal keuletan dan pantang menyerah oleh keadaan yang kadang-kadang sangat memberatkan. Apalagi, beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan buku mengenai sejarah perusahaan rokok Sampoerna. Buku ini bagus sekali, menunjukkan bagaimana jatuh bangun perintis Sampoerna dalam mendirikan raksasa industri rokok yang akhirnya laku dijual dalam bilangan triliun rupiah.
Memang, usaha apapun pasti memerlukan modal, termasuk modal dengkul (seperti penjual sayuran yang selalu keliling kompleks perumahan dengan gerobak yang dikayuh pakai kekuatan dengkul). Saat kita punya gagasan untuk memulai usaha, lalu merasa terbentur pada kata ‘modal’, ada baiknya kita lihat berkeliling. Ada banyak orang-orang sederhana disekitar kita berani memulai usaha, meski dengan modal ngutang kanan kiri (asal ingat bayar). Contohnya tukang sayur yang keliling kompleks tadi. Ketika saya sempat-sempatkan untuk interview dia di pagi hari Sabtu, ia menjelaskan bahwa modalnya berasal dari kiriman istrinya yang kerja jadi TKI di Hongkong. Sebelum itu, bahkan ia berencana untuk berhutang pada mertuanya, yang penting bisa usaha. Dari perbicangan dengannya, saya tersadar, bahwa kalau memang mau berusaha, modal bisa didapatkan dengan berbagai cara. Artinya, jangan terpaku pada sumber-sumber yang kita lihat di iklan atau buku-buku bisnis.
Ketika kemudian saya membaca tentang kiprah Dr. Muhammad Yunus, saya lebih terperangah. Dr. Yunus bahkan menempatkan posisi sebagai pemberi modal, bukan pencari modal. Nilainya pun sungguh fantastis saat dia memulai Grameen Bank, 30 Dollar saja dari kantongnya sendiri, dan ia sudah merubah dunia! Jadi itulah, kalau memang kita mau berusaha, berapapun modalnya dan darimanapun sumbernya tidak akan jadi soal lagi, yang tersisa adalah niat luhur kita untuk melakukan yang terbaik dalam merintis wirausaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H