Indonesia adalah negara kepulauan satu-satunya di dunia. Oleh sebab itu kita dapat mengatakan we are the big archipelago country in the world. Dengan demikian -- tidak perlu kita mencari-cari di dunia ini dalam wujud benchmarking yang cocok untuk menyederhanakan atau memutakhirkan pelabuhan di Indonesia. Kita dituntut untuk menyelesaikan sendiri semua permasalahan pelabuhan di Indonesia dan tidak perlu menyewa konsultan asing apalagi meniru model prosedural pelabuhan luar negeri. Sekali lagi -- tidak ada yang cocok. Negara-negara lain di belahan bumi sana itu tidak memiliki atribut 'the big archipelago country'. Hanya Indonesia dan tidak ada negara lain di dunia ini yang memiliki fitur seperti archipelago country dimaksud. Program pemerintah tentang Tol Laut, SSS (Short Sea Shipping) itu semua memerlukan pemutakhiran manajemen pelabuhan; yang mana kita mengetahui sendiri bahwasannya layanan BUP (Badan Usaha Pelabuhan) di Indonesia ini rata-rata tidak memenuhi syarat dan memiliki budaya kerja yang harus dirubah menjadi profesional. Sebagai contoh: Lamanya kapal sandar di pelabuhan saat ini rata-rata maksimum 5 (lima) hari yang disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut: KINERJA OPERASIONAL BONGKAR MUAT Kinerja operasional BUP dalam menangani kegiatan bongkar muat itu BSH (Box Shifted per hour) kurang dari 30 TEUS yang disebabkan oleh ketidakhandalan dalam manajemen pengalokasian alat bongkar muat. Beberapa pelabuhan itu bermitra dengan PBM (Perusahaan Bongkar Muat) yang disebabkan kekurangan alat. Sementara kinerja operasional PBM yang bersangkutan tidak pernah mengalami ganjaran berdasarkan standard BSH yang sudah ditentukan dan disepakati. PBM yang bermitra dengan BUP sebagai Operator Pelabuhan juga tidak pernah diverifikasi -- apakah keberadaannya itu memang memiliki alat atau hanya sebagai brokerage company dan bermitra lagi dengan si pemilik alat yang sesungguhnya. Akhirnya, mekanismenya menjadi meng-outsource-kan sesuatu yang sudah bermodel outsourcing sebelumnya. Secara umum, kinerja operasional sebuah pelabuhan diukur berdasarkan BSH (Box Shifted per Hour), TGH (Ton Gang per Hour), BOR (Berthing Occupancy Ratio), YOR (Yard Occupancy Ratio), dan Dwelling Time. KESALAHAN PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL PELABUHAN Kenaikan throughput produksi bongkar muat pelabuhan itu ditentukan oleh adanya laju pertumbuhan perdagangan antara Pihak Shipper dan Pihak Consignee antar negara (internasional) atau antar pulau (domestik). Artinya: Jika throughput produksi bongkar muat sebuah pelabuhan di tahun 2012 itu hanya 4 juta TEUS lalu bertumbuh di tahun 2013 menjadi 6 juta TEUS maka hal itu merupakan indikator adanya laju pertumbuhan perdagangan antara Pihak Shipper dan Pihak Consignee sebagaimana maksud di atas. Dan ini bukanlah ukuran adanya peningkatan kinerja operasional pelabuhan. Kinerja operasional pelabuhan diukur berdasarkan BSH (Box Shifted per Hour), TGH (Ton Gang per Hour), BOR (Berthing Occupancy Ratio), YOR (Yard Occupancy Ratio), dan Dwelling Time. Jadi, jika ternyata BSH, TGH, BOR, YOR dan Dwelling Time untuk menangani kegiatan bongkar muat sebanyak 7 TEUS di atas itu tidak sesuai atau masih dibawah angka rasio tahun sebelumnya maka dapat dikatakan kinerja operasional pelabuhan tidak tumbuh sekalipun throughput bongkar muatnya naik . Ini yang perlu diwaspadai jika Dirut dari BUP tersebut terlalu hiperbola mengatasnamakan throughput sebagaimana maksud di atas. KETERIKAITAN ANTARA DWELLING TIME - LUAS LAHAN PENUMPUKAN DAN THROUGPUT BONGKAR MUAT Dwelling Time, Luas Lahan Penumpukan Petikemas serta Throughput Bongkar Muat yang dihasilkan itu kesemuanya memiliki rasio yang saling ketergantungan satu dengan lainnya. Pada simulasi tabel di atas terlihat Dwelling rata-rata per hari selama satu tahun adalah 10 hari dengan perhitungan luas lahan petikemas 152.3 Ha akan menghasilkan throughput bongkar muat sebanyak 6.825.290 TEUS. Mari kita lihat simulasi berikutnya pada tabel di bawah ini.
Jika dikatakan bahwasannya Dwelling Time pelabuhan itu adalah 4 hari maka dengan perhitungan luas lahan petikemas 152.3 Ha akan menghasilkan throughput bongkar muat sebanyak 18.767.840 TEUS. Dari kedua tabel simulator di atas maka terlihat jelas kaitannya antara Dwelling Time, Luas Lahan Petikemas dan perolehan Throughput Bongkar Muat. Untuk melakukan kegiatan audit sebuah pelabuhan maka catatan pada Laporan Keuangan pelabuhan tersebut yang menggambarkan perolehan Throughput Bongkar Muat dapat dibanding dengan simulasi tabel di atas. Artinya: jika throughput bongkar muat tidak sama hasilnya dengan hasil dari simulasi tabel di atas maka hal itu berarti ada kesalahan pencatatan, atau ada hasil produksi bongkar muat yang tidak dicatat pada Laporan Keuangan tersebut. Ini merupakan kewaspadaan bahwasannya pelabuhan yang bersangkutan bukan hanya memiliki permasalahan pada kinerja operasional yang tidak handal tetapi lebih dari itu, yakni: adanya modus operandi di lapangan mengenai kegiatan bongkar muat yang tidak dicatat pada Laporan Produksi Bongkar Muat. PENJABARAN UU 17/ 2008 TENTANG PELAYARAN Di sisi lain, berdasarkan UU 17/ 2008 Tentang Pelayaran -- maka dibedakan antara Regulator Pelabuhan dan Operator Pelabuhan (BUP). Tugas pokok dan fungsional Regulator Pelabuhan dalam hal ini adalah Kemenhub yang mengawasi kelancaran arus barang di pelabuhan yang dilakukan oleh BUP sebagai Operator Pelabuhan yang ditunjuk berdasarkan perjanjian konsesi atas lahan tanah pelabuhan milik negara. Yang lebih parah lagi selain daripada kinerja operasional adalah lahan tanah atas perjanjian konsesi tersebut dikerjasamakan dengan Pihak Asing dengan tujuan untuk capital (permodalan) pemutakhiran pelabuhan dalam kurun waktu sampai belasan tahun bahkan puluhan tahun. Ini seyogianya menjadi perhatian bahwasan Indonesia itu secara geografis kaya akan lahan daratan di katulistiwa yang dilewati oleh kapal-kapal internasional maupun domestik yang mana aspek permodalan dapat dibiayai dari anggaran pemerintah dan bukan dibiayai atas kerjasama dengan Pihak Asing. Adalah sangat mustahil bahwasannya kita tidak bisa membiayai sendiri pemutakhiran pelabuhan-pelabuhan di Indonesia dari anggaran pemerintah apalagi dalam kondisi saat ini yang mana pemerintah sudah bisa berhemat dalam segala hal. Pelabuhan di Indonesia harus bisa dikembangkan dengan dana sendiri sehingga Pungutan Jasa Kepelabuhanan itu dapat dikembalikan untuk berbagai hal yang lain (seperti subsidi Biaya Logistik untuk trafik pengiriman barang ke Kawasan Timur) termasuk pemutakhiran pelabuhan-pelabuhan di Kawasan Timur itu sendiri. Pungutan Jasa Pelabuhan itu milik sendiri (tanpa Pihak Asing) dan dapat digunakan untuk kontribusi silang biaya logistik pengiriman barang. PENJABARAN TOL LAUT DAN SSS Adalah sangat jauh dari realita jika penjabaran Tol Laut dan SSS (Short Sea Shipping) ini tidak mempertimbangkan berbagai permasalahan pelabuhan sebagaimana telah dijabarkan di atas. Dan kitapun tidak bisa menyelesaikan permasalahan pelabuhan jika para Menteri yang duduk pada pemerintahan saat ini tidak mengerti mengenai permasalahan yang telah dijabarkan di atas apalagi target yang ingin dicapai adalah efisiensi Biaya Logistik. Beberapa ungkapan yang dapat dibaca di berbagai media masa bahwasannya prioritas penyelesaian permasalahan pelabuhan tidak mengena sasaran yang sesungguhnya sebagaimana di lapangan kejadian-kejadian yang telah diutarakan di atas itu dapat diselesaikan dengan tuntas. Prakondisi sebelum menerapkan Tol Laut dan SSS adalah bagaimana persoalan pelabuhan di atas dapat diselesaikan terlebih dahulu. PERBEDAAN PELAKU USAHA LOGISTIK DAN PERUSAHAAN OPERATOR LOGISTIK Penjabaran Tol Laut memerlukan info selain subsidi Biaya Logistik. Info ini sangat sensitif dikarenakan mengandung order pengiriman barang. Info order pengiriman barang ini seyogianya dapat disampaikan kepada kapal-kapal yang sedang lalu lalang di lintas Tol Laut sehingga dapat mengimbangi adanya muatan yang kosong dari Kawasan Timur. Dengan demikian fenomena siapa yang menjadi Aktor/ Perusahaan Operator Logistik Lintas Tol Laut selalu menjadi topik yang sensitif yang dikarenakan aktor perusahaan tersebut jangan menjadi Pelaku Usaha Logistik Lintas Tol Laut yang dapat berpotensi privilege atau kepentingan group usaha sehingga berpotensi pula dalam persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini harus dapat diwaspadai dan diputuskan secara tegas oleh pemerintah sehingga target penurunan biaya logistik dapat dicapai tanpa adanya keributan perebutan siapa yang akan menjadi Aktor/ Perusahaan Operator Logistik Lintas Tol Laut yang mendapatkan subsidi dan info order pengiriman barang. PERNANAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Info order pengiriman barang serta besaran subsidi yang akan dicairkan memerlukan peranan teknologi yang mutakhir. Pelaksanaan Tol Laut serta unsur konektivitasnya antar pelabuhan maupun konektivitias B2B antar Perusahaan Transporter Laut untuk melakukan interkoneksi trafik pengiriman barang harus dapat ditata secara adil sehingga semua Pelaku Usaha Logistik merasakan manfaatnya. Selain daripada permasalahan di atas maka UU Logistik juga harus segera diterbitkan agar semuanya berjalan berdasarkan kebijakan yang baku. Praktisi Logistik Kepelabuhan Rudy Sangian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Money Selengkapnya