PELABUHAN BERBASIS PORT CENTRIC MECHANISM
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran merupakan perangkat undang-undang tertinggi di ranah pelabuhan. Undang-Undang tersebut memposisikan Otoritas Pelabuhan dibawah Kementerian Perhubungan adalah pihak yang berwenang untuk mengatur kelancaran arus kapal dan barang di pelabuhan.
Sebagaimana terjadinya kepadatan di jalan raya maka akan ada Polisi yang datang untuk mengaturnya, menentukan alur mana yang prioritas dan mana yang tidak prioritas sehingga kepadatan pada jalan tersebut menjadi lancar kembali. Semua orang dan siapapun anda di dalam mobil maka ketika seorang Polisi sedang mengatur agar jalan tidak macet; semua harus taat dan tunduk pada Polisi tersebut.
Demikian pula halnya di ranah pelabuhan, jika terjadi kongesti (kepadatan) maka pihak yang berwenang untuk mengatur kelancaran arus kapal dan barang adalah Otoritas Pelabuhan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dimaksud di atas.
Untuk itu Otoritas Pelabuhan perlu diperlengkapi dengan berbagai data perencanaan kegiatan pelabuhan maupun berbagai data realisasi kegiatan pelabuhan. Maksud dan tujuan tentang berbagai data tersebut adalah Otoritas Pelabuhan dapat mengatur semua layanan kegiatan pelabuhan menjadi disiplin, transparan, tidak diskriminasi dan berdaulat.
- Aspek kehandalan manajerial masing-masing Pengguna Jasa Pelabuhan untuk dapat berkoordinasi sesama Pengguna Jasa Pelabuhan
- Aspek kehandalan manajerial masing-masing instansi pemerintah terkait; termasuk Operator Pelabuhan; dan juga perlu ditambahkan di sini adalah dapat berkoordinasi sesama instansi sesuai dengan kewenangan Otoritas Pelabuhan pada Undang-Undang 17/ 2008.
Agar kelancaran arus kapal dan barang di pelabuhan dapat terlaksana dengan baik maka diperlukan perangkat teknologi informasi yang dilengkapi dengan berbagai fitur pertukaran data dari ke 44 kombinasi permutasi sebagaimana dimaksud di atas.
Layanan pelabuhan di Indonesia adalah layanan berbasis Port Centric Mechanism dan bukan Customs Centric Mechanism. Dan hal sudah diperjelaskan dengan Undang-Undang No. 17/ 2008. Jika terjadi kemacetan di pelabuhan maka Otoritas Pelabuhanlah yang menjadi semacam "polisi" untuk menyelesaikan kemacetan tersebut dan bukan Petugas Bea Cukai.
Inilah sekarang yang menjadi salah kaprah pelaksanaannya di pelabuhan dan permasalahan ini dimintakan pendapat dari berbagai konsultan asing yang mana mereka atau pelabuhan mereka berbeda dengan fitur pelabuhan Indonesia. Bahkan pelabuhan mereka berorientasi Customs Centric Mechanism sehingga metodologinya adalah pre-clearance, customs clearance dan post clearance.
Metodologi itu tidak cocok untuk menyelesaikan permasalahan pelabuhan kita yang berbasis Port Centric Mechanism sesuai dengan Undang-Undang No. 17/ 2008.