Beberapa kali saat berangkat kerja pagi melihat pemuda pincang itu. Orangnya berbadan gempal, kulit hitam. Berdiri di lampu merah . Satu tangan membawa tongkat, satu tangannya lagi membawa koran dagangan.
Sambil menunggu lampu lalu lintas berganti warna hijau, saya memperhatikan kakinya. Ooo.. ternyata mungkin kecilnya sakit polio. Kakinya kecil sebelah.
Sedikit terenyuh, saya membuka jendela, dan membeli koran. Sesukanya saja saya sebut nama sebuah koran. Karna di rumah sudah langganan koran. Kasihan saja. Mungkin berapa ribu untuk orang seperti dia sdh banyak berarti.
Saya jadi berpikir, dan menghitung2.Hmm... kalau sehari koran sekian ribu dikali 20 hari tidak banyak2 amat toh. Cuma yaaa mesti kumpulin uang kecil sehingga tidak ruwet dengan kembalian. Maklum, transaksi di lampu merah
Keesokan harinya selama dua tiga hari rutin membeli dari pemuda itu. Dia mungkin juga sdh hapal dengan wajah saya.
Tapi dari beberapa transaksi itu ada sesuatu yang membuat saya tertegun. Pemuda itu tak pernah berusaha mendekati mobil saya. Dia selalu menunggu dipanggil.
Pernah sekali saya pura2 tidak mengacuhkannya. Eh... dia jalan terus, melewati mobil saya. Dan terus jalan ke arah belakang, sambil menunggu orang yang memanggilnya utk membeli koran dagangannya
Sekali, dua kali, saya pura pura tidak menghiraukannya. Saya perhatikan gerak geriknya. Saya amati. Sinar matanya. Ketegaran wajahnya. Langkah kakinya yang meski terpincang-pincang tetapi tetap berusaha tegak melangkah
Hmm... ternyata pemuda ini harga dirinya tinggi! Meski dengan satu tongkat di sebelah tangan, satu tangan lagi membawa barang dagangan, dia tidak pernah mengiba-iba, tidak pernah meminta - minta.
Kalau memang perlu korannya, bunyikan klakson atau panggil dia, dia akan samperin
kalau tidak, juga tdk ada apa2. Dia akan melewati mobil demi mobil dan berharap ada yang mau membeli korannya.