Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Lainnya - Diaspora Indonesia di China

Penulis adalah Warga Negara Indonesia yang saat ini bekerja dan tinggal di Beijing, China. Penulis ingin membagikan hal-hal menarik di Tiongkok berdasarkan perspektif yang objektif bagi pembaca di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peringatan Hari Museum Internasional, Momen Pas untuk Belajar Sejarah

17 Mei 2024   12:43 Diperbarui: 17 Mei 2024   12:49 2194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum National Indonesia. Sumber Foto: Dokumentasi pribadi

Museum adalah gudang peradaban manusia, Kunjungan ke museum ibarat perjalanan melintasi ruang dan waktu, di sana kita dapat menemukan begitu banyak fakta sejarah. Museum juga merupakan tempat penting untuk pertukaran budaya dan pembelajaran bersama berbagai bangsa. Tanggal 18 Mei diperingati sebagai "Hari Museum Internasional". Di hari ini, mari kita bersama-sama mengunjungi museum untuk menyadari betapa pentingnya melestarikan sejarah dan belajar tentang dunia.
Tiongkok dan Indonesia saling berhadapan dengan dipisahkan laut. Namun, karena faktor sejarah, terdapat lebih dari 8.000 buah peninggalan budaya keramik Tiongkok di Museum Nasional Indonesia. Di sini, kita dapat menemukan begitu banyak keramik dari periode sejarah yang berbeda seperti Dinasti Han, Tang, dan Ming. Keramik  berusia ratusan hingga ribuan tahun tersebut menceritakan kepada kita kisah kapal pedagang Tiongkok yang berlayar di Jalur Sutra, sekaligus menjadi bukti bahwa hubungan perdagangan dan pertukaran budaya antara Tiongkok dan Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Pada bulan Oktober 2013, Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam pidataonya di hadapan DPR RI berbicara tentang banyaknya porselen kuno Tiongkok yang dipajang di Museum Nasional Indonesia. Pada saat itu jugalah, Presiden Xi Jinping pertama kali mengusulkan inisiatif untuk bersama-sama membangun "Jalur Sutra Maritim" abad ke-21, yang menjadi asal usul lahirnya Inisiatif Belt and Road. 10 tahun lebih sejak inisiatif tersebut diajukan, Indonesia dan Tiongkok terus mengambil langkah-langkah solid untuk bersama-sama membangun komunitas senasib sepenanggungan umat manusia, dan tentunya banyak hasil yang sudah dicapai.
Kota Quanzhou yang terletak di provinsi Fujian, adalah titik awal Jalur Sutra Maritim. Kemakmuran kota ini pernah membuat Marco Polo berdecak kagum. Sejak ribuan tahun lalu, Quanzhou telah menarik puluhan ribu orang dari Asia, Afrika dan Eropa untuk datang berdagang, dan telah menjadi pusat integrasi antar budaya berbagai bangsa. Orang dengan berbagai agama, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Manikheisme, Yudaisme, dll hidup berdampingan dengan damai di sini, ini adalah sebuah keajaiban dalam sejarah agama di dunia. 

Di Museum Sejarah Transportasi Luar Negeri Quanzhou, kita dapat menemukan ratusan pahatan batu peninggalan yang dibawa warga asing ke Quanzhou saat datang berbisnis dan berdakwah di sini pada masa Dinasti Song dan Yuan, misalnya batu nisan, batu penutup makam, patung batu, dan lain-lain. 

Peninggalan budaya dan religi di museum ini tidak hanya memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, tapi juga mencerminkan keharmonisan dan hubungan timbal balik antar agama yang berbeda. Hidup berdampingan secara harmonis ini adalah intisari dari filosofi  kuno Tiongkok yaitu "Berbeda tapi harmonis" dan "harmoni dan koesistensi". Konsep ini menekankan rasa hormat terhadap perbedaan dan toleransi terhadap keberagaman, dan memberikan contoh nyata tentang bagaimana masyarakat dengan latar belakang dan kepercayaan yang berbeda dapat hidup berdampingan secara harmonis.

Perlu ditekankan bahwa integrasi budaya tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga terus diwariskan, dikembangkan, dan diinovasi di era modern. "Budaya Baba Nyonya" adalah salah satu contoh integrasi budaya. "Baba Nyonya" mengacu pada keturunan Tionghoa yang menetap di Asia Tenggara pada awal abad ke-15 dan melakukan perkawinan campuran dengan wanita setempat. Saat itu, banyak orang Tionghoa dari Fujian atau Chaoshan di Guangdong berimigrasi ke sejumlah tempat di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaka, dan Penang. Mereka kemudian menikah dengan perempuan setempat sehingga terbentuk kelompok etnis yang unik ini. Museum Peranakan Singapura adalah tempat yang sangat baik untuk memahami "Budaya Baba Nyonya". Museum ini secara visual menampilkan perkembangan dan pewarisan "Budaya Baba Nyonya" di daerah setempat melalui perangkat yang interaktif. Keunikan kain dan aksesoris yang dipajang di museum tersebut memperlihatkan bagaimana kain tradisional Asia Tenggara dipadukan dengan corak khas Tiongkok, yang kemudian membentuk beragam desain kostum Nyonya. Di sini, kita dapat mendcapatkan pemahaman tentang intisari masyarakat Baba Nyonya serta dinamika perkembangan dan integrasi antar bangsa.

Museum ibarat jendela ke masa lalu, di sini kita dibawa melihat kembali kisah-kisah terhebat di dunia. Museum juga adalah tempat di mana peradaban berbagai bangsa di dunia saling mengenal dan bertukar pikiran. Pertukaran lintas budaya seperti ini telah membuat kita semakin menyadari bahwa umat manusia adalah komunitas dengan masa depan bersama. Hanya dengan saling menghormati dan belajar dari satu sama lain, kita baru dapat bersama-sama menciptakan masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun