Dalam film Prisoners (2013), dikisahkan seorang ayah yang semula baik berubah menjadi kejam yang dengan tega menyiksa seorang pemuda yang diduga menculik anaknya. Ternyata yang menculik anaknya adalah seorang ibu. Ibu itu menculik anak-anak orang lain sebagai wujud perang melawan Tuhan. Mengapa dia berperang melawan Tuhan? Itu karena dia yakin bahwa Tuhan telah mengambil/menculik anaknya melalui penyakit kanker yang diderita anaknya. Padahal, semula, ibu itu adalah orang yang percaya kepada Tuhan.
Ayah yang menjadi kejam, ibu yang menjadi kejam, itu semua karena kecintaan mereka kepada anak mereka. Mereka tidak menerima kalau anak mereka dilukai oleh orang lain, termasuk Tuhan di dalamnya. Dalam kadar yang lebih ringan, kita melihat bagaimana orang tua berkelahi satu sama lain karena tidak menerima anak mereka dilukai oleh teman sekolahnya. Bapak seorang anak bisa tonjok-tonjokan dengan bapak anak yang lain gara-gara anak mereka luka-luka akibat perkelahian.
Melihat diri sendiri terluka, kita biasa-biasa saja. Tetapi, melihat anak sendiri dilukai orang lain, kita bisa berubah menjadi kejam. Bayangkan kalau anak gadis kita yang cantik diperkosa oleh orang lain, bagaimana perasaan kita? Tiba-tiba, naluri membunuh dalam diri kita keluar bukan? Bahkan, bukan hanya kepada anak sendiri, kepada semua anak-anak, ketika mereka dilukai, maka nafsu membunuh bisa keluar dengan buasnya. Oleh karena itu, massa/warga bisa membunuh mereka yang melukai anak-anak mereka. Kejadian akhir-akhir ini, di mana warga menghakimi pelaku-kejahatan hingga mati adalah contoh dari kebenaran di atas.
Kita, manusia, ternyata tidak sekuat yang kita bayangkan. Biarpun sudah berdoa dan beribadah di gereja ratusan kali, ketika ada pemicu yang menyakitkan, kita bisa berubah menjadi seorang yang lain yang kejam dan jahat. Melihat fakta tersebut, kita bisa memahami ulang siapakah manusia itu.
Seorang manusia tidak hanya memiliki “1 aku”. Kita, masing-masing, memiliki “banyak aku”. Di dalam diri kita, ada “komunitas aku” yang saling bersaing. Ada aku-yang-baik, ada aku-yang-jahat. Ada aku-yang-mencintai-kehidupan, ada aku-yang-suka-pembunuhan. Ada aku-yang-sangat-dermawan, ada aku-yang-suka-korupsi. Ada aku-yang-suci, ada aku-yang-kotor. Oleh karena itu, tidak usah heran, kalau banyak koruptor-kotor itu dikenal di masyarakat sebagai orang yang dermawan-nan-baik.
Kalau demikian adanya, kita bisa juga mengatakan bahwa di dalam diri kita masing-masing, ada aku-yang-beriman kepada Tuhan, dan ada aku-yang-kafir. Dua-duanya menjadi dialektika-dasar yang berurat-akar dalam darah kita masing-masing. Siapakah aku? Aku adalah komunitas-aku, di mana aku-beriman berada dalam ketegangan dengan aku-kafir.
Kalau demikian adanya, maka, ungkapan “kafir” itu lebih utama ditujukan kepada diri kita masing-masing, bukan ditujukan kepada orang lain. Sebelum kita mengkafirkan orang lain, telisikilah lebih dalam aku-kafir kita masing-masing. Yesus dalam Luk 6:41 mengatakan, “Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?” Itu adalah pertanyaan yang radikal, yang menembus sampai ke akar “aku” kita masing-masing.
Jangan-jangan, orang yang sering mengkafirkan “selumbar-kekafiran” orang lain adalah mereka yang mempunyai “balok-kekafiran” di dalam dirinya. Itu hanyalah kata-kata ajakan untuk mengevaluasi diri sendiri. Bukankah ada baiknya, menjelang akhir tahun, kita mengevaluasi diri kita? Kalau toh, kita menyadari bahwa diri kita melakukan kesalahan, masih ada kesempatan untuk mengucapkan kata maaf kepada saudara-saudara kita yang selama ini kita kafir-kafirkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI