Beberapa nelayan Indonesia yang disandera oleh militan Abu Sayyaf akhirnya dibebaskan. Proses pembebasan itu melibatkan banyak pihak. Salah seorang yang dibebaskan beragama Kristen. Sesampai di rumahnya, diadakan ibadah ucapan syukur. Salah seorang dalam ibadah itu berseru bahwa Yesus lah yang telah menyelamatkannya. Orang luar yang tidak beragama Kristen akan bingung dan bertanya, bagaimana mungkin Yesus yang menyelamatkan toh dalam proses pembebasan tidak terlihat sama sekali peran Yesus di sana. Tetapi, banyak orang Kristen akan dengan mudah memahami bagaimana Yesus dikaitkan dengan pembebasan itu. Mengapa orang Kristen ujug-ujug bisa mengkaitkan Yesus dengan proses pembebasan itu? Itu karena peranan sebuah pandangan dunia.
Agama dengan seperangkat dogma dan keyakinannya telah membangun sebuah pandangan dunia. Pandangan dunia ini dipakai untuk melihat dunia atau semesta ini. Yang menjadi masalah adalah tatkala pandangan dunia itu disamakan dengan dunia itu sendiri. Hasilnya adalah perkelahian antara pandangan dunia itu termasuk berkelahi dengan sains yang memiliki pandangan dunianya sendiri.
Mengapa berkelahi? Karena, masing-masing pandangan dunia itu meyakini kebenaran universal yang sudah jadi atau selesai. Tidak ada proses di dalamnya. Semua yang terjadi di dunia ini bahkan awal dan akhir dunia ini dijelaskan oleh pandangan dunia itu. Penjelasan ini memang bersifat memilah-milah, mana yang beriman mana yang kafir, mana yang benar mana yang salah, mana yang halal mana yang haram dan seterusnya.
Klaim universal itu memang lahir karena di dalam pandangan dunia sebuah agama ada ALLAH (atau REALITAS TERTINGGI) di dalamnya. Karena diyakini ALLAH ini adalah pencipta semesta, maka apa yang dikatakan oleh ALLAH bersifat mencakup semesta ini juga. Padahal, itu sebuah keyakinan yang lahir dari sebuah pandangan dunia, dan bukan dunia itu sendiri.
Tanpa kemampuan bisa membedakan antara pandangan dunia dengan dunia itu sendiri, kita akan jatuh dalam perkelahian terus-menerus dengan yang lain. Masing-masing punya “ALLAH Bertengangan Listrik Tinggi”. Yang nyenggol sedikit akan kesetrum dan bisa mati karena sengatan setrumnya. Ini seperti pandangan anak remaja yang kalau kesenggol sedikit langsung berantem. Pertanyaannya: kapan kita akan beranjak dewasa?
Kalau mau beranjak dewasa, menurut saya, kita perlu menyadari sifat lokal agama kita masing-masing. Sekalipun ada klaim universal di dalam masing-masing agama, yang universal itu bersifal lokal juga. Universalitas kebenaran agama kita adalah universalitas dalam proses, yang belum finis. Saat ini, lokalitas-lokalitas agama kita sedang dalam interaksi dengan agama dan kebudayaan lainnya (termasuk dengan sains).
Dalam interaksi itu, yang diutamakan adalah kesediaan mau belajar. Sekali lagi, mau belajar. Karena, hanya dengan belajarlah universalitas-lokal kita sedang berkembang-lentur menuju universalitas-akhir-bersama.
Siapa yang tidak mau belajar lagi, dia akan mudah jatuh pada kesombongan. Begitu kesombongan itu menguasai dirinya, maka dirinyalah yang dipertuhan dan disembah. Dan hasilnya, ALLAH kita letakkan di bawah diri kita sendiri. Dan ketika terjadi penyembahan berhala itu, maka dunia akan rusak dan manusia akan saling membunuh satu sama lain.
Kapan kita akan dewasa? Mungkin saat kita mau belajar terus menerus. Saat kita mulai meninjau ulang makna kata-kata yang memisahkan kita satu dengan yang lainnya. Saat kita memahami secara baru apa itu benar-salah, halal-haram, beriman-kafir dan lain-lain. Tidak ada pemahaman yang mutlak, karena yang mutlak hanya ALLAH saja. DIA lah yang selalu kita sembah, tidak ada yang lain termasuk pandangan dunia yang kita sayangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H