Mohon tunggu...
Rudy Phan
Rudy Phan Mohon Tunggu... Wirausaha -

Sukanya duduk, berimajinasi dan ketik ini dan itu

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ahok, Dibaptis dalam Religio-Solidaritas Keislaman

19 Desember 2016   20:32 Diperbarui: 22 Desember 2016   13:34 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sidang perdana Ahok, terutama yang terungkap dalam Nota Keberatan yang disampaikannya, telah membuka pemahaman baru akan agama yang Ahok jalani. Dan kali ini, saya ingin berbicara dari perspektif Kristen, terutama pada topik tentang baptisan. Di sini, saya lebih memilih ide dibaptis, daripada membaptis. Dan pengalaman beragama Ahok menunjukkan bahwa dia rela dibaptis dalam keislaman yang dia pilih yang menyatupadukan antara religositas-dan-solidaritas. Kita mulai dengan kisah Yesus, jalan yang Yesus pilih. 

Mengapa Yesus tidak dibaptis oleh orang Farisi dan ahli Taurat? Mengapa Yesus tidak dibaptis oleh kaum Zelot? Mengapa Yesus tidak dibaptis oleh kaum Eseni? Tetapi, justru MEMILIH dibaptis oleh Yohanes (Pembaptis)? Itu karena radikalitas Yohanes terhadap kemiskinan sebagai wujud spiritualitas keberpihakkannya kepada wong cilik. 

Ketika dibaptis, Yesus rela MENUNDUKKAN DIRI dihadapan Yohanes. Berguru kepada Yohanes, Yesus menyerap cara berpikir dan bertindaknya. Hanya mereka yang telah bergurulah, layak mengajar sehingga suaranya didengar. Menundukkan diri bukan sekedar formatlitas-fisik, tetapi wujud otentik spiritualitas Yesus. Karena, tidak ada spiritualitas yang otentik tanpa KERENDAHAN HATI untuk belajar. 

Ahok itu Kristen, pengikut Yesus. Dia mengikuti jalan yang ditempuh Yesus. Sebelum suaranya didengar, Ahok berguru terlebih dahulu kepada dua guru Indonesia, Gus Dur dan Megawati. Dari Gus Dur, Ahok belajar akan realitas kemajemukan beragama; dan dari Megawati, Ahok belajar akan solidaritas kepada wong cilik yang miskin. Di Indonesia, realitas kemajemukan beragama itu SATU-ERAT dengan realitas kemiskinan wong cilik. Ketika Ahok komitmen kepada kemajemukan agama, dia melihat banyak wong cilik di sana dan begitu Ahok komitmen kepada wong cilik dia melihat bahwa wong cilik memiliki kemajemukan beragama, yang faktanya kebanyakan beragama Islam. 

Ahok merasa bahwa pilihannya kepada Gus Dur dan Megawati adalah tepat untuk langkah perjuangannya. Aliran Islam yang dia pilih bukan yang lain, tetapi  Islam yang sebagaimana dihayati oleh Gus Dur dan Megawati. Islam yang demikian juga yang dihayati oleh Jokowi. Oleh karena itu, Ahok mau disandingkan dengan Jokowi. Dengan penyandingan itu, Ahok bisa semakin banyak menyerap cara berpikir dan bertindak . Ini dalah REVOLUSI mental. Revolusi yang berpijak padak kemajemukan agama dan solidaritas kepada wong cilik. 

Kalau Ahok memilih “dibaptis” dalam genangan sungai spiritualitas keislaman 3P (Tiga Presiden: Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, Presidan Jokowi), maka mereka pencinta Ahok layaknya mau menempuh jalan Ahok juga. Ini jalan yang asing dan sempit; ini jalan yang sedikit ditempuh orang. Tetapi, itulah jalan yang ditempuh Yesus ketika dibaptis dan yang kini coba diikuti oleh Ahok. Jalan Yesus adalah jalan berbahaya. Jalan Ahok juga jalan berbahaya. Itu jalan yang berujung pada penjara dan kematian. 

Mengapa berujung pada kengerian seperti itu? Karena, jalan itu adalah jalan melawan kekuasaan jahat. Kuasa jahat yang koruptif itu tidak akan tinggal diam melihat tumbuhnya jalan Yesus, jalan Ahok. Kalau Ahok itu anti-korupsi, itu adalah wujud perlawanannya terhadap kekuasaan jahat. 

Korupsi telah mengambil pakaian satu-satunya yang dimiliki wong cilik. Ini menyedihkan, ini menyakitkan. Kalaulah ada demo yang layak dilakukan, maka itu adalah demo anti-korupsi. Kalau ada doa yang layak kita panjatkan, itu adalah doa anti-korupsi. Semua itu bisa kita lakukan, jika terjadi REVOLUSI mental, dimana DOA-dan-SOLIDARITAS itu SATU, sebuah RELIGIO-SOLIDARITAS. Tanpa kesatuan itu, maka yang terjadi adalah doa yang cuek kepada korupsi dan solidaritas yang menempuh jalan kekerasan. Tanpa kesatuan itu, para koruptor bisa ikut berdoa tanpa merasa bersalah atas perbuatannya yang “mematikan”  wong cilik. 

Terima kasih kepada Gus Dur, bapak Pluralisme dan terima kasih kepada Megawati, ibu Wong Cilik. Keduanya satu dan mengkristal dalam diri Jokowi, dalam diri Ahok. Dan, saya berharap, dalam diri kita semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun