Peristiwa Malari adalah peristiwa aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat sebagai respon atas kapitalisasi Jepang di Indonesia pada tahun 1974. Malari sendiri adalah akronim dari dari “Malapetaka Lima Belas Januari”, tanggal saat peristiwa demonstrasi yang berujung kerusuhan itu terjadi di Jakarta. Peristiwa Malari menjadi penting sebab terjadi bertepatan dengan momen kunjungan Perdana Menteri Jepang saat itu, Kakuei Tanaka. Berbagai elemen rakyat, dari warga, buruh, dan mahasiswa turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi menolak kedatangan PM Tanaka, sekaligus menyatakan penolakan atas dominasi ekonomi terhadap Indonesia. Aksi yang pada awalnya berjalan tertib kemudian menjadi tidak terkendali, massa aksi secara tidak terkontrol kemudian melakukan sweeping terhadap produk Jepang, khususnya kendaraan roda 2 dan roda 4.
Kendaraan itu kemudian dirusak, dibakar, dan dilempar ke sungai. Tidak hanya itu, massa juga membakar beberapa toko dan swalayan. Tercatat bahwa 187 motor, 807 mobil dirusak dan dibakar, sementara 144 gedung swalayan di kawasan Senen dan Roxy dijarah dan dibakar.[1] Salah satu koordinator aksi yang juga mahasiswa Universitas Indonesia kemudian ditangkap dan diadili. Kini tepat 43 tahun kemudian, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe melakukan kunjungan resmi kenegaraan selama dua hari di Indonesia. Menarik kemudian untuk diangkat tentang apa agenda PM Abe dalam kunjungannya yang bertepatan dengan peringatan Malari, perbandingan kebijakan ekonomi Indonesia dekade 1970an dan saat ini, serta prospek hubungan kerjasama ekonomi Indonesia-Jepang dalam konteks kebermanfaatan umum.
Sedikit kita akan membahas seputar perekonomian Indonesia di era awal Orde Baru. Pemerintah Soeharto menerapkan apa yang disebut dengan kebijakan ekonomi terbuka. Inti dari kebijakan ekonomi terbuka adalah keterbukaan untuk masuknya modal-modal asing ke Indonesia. Kebijakan ekonomi terbuka menekankan pada pertumbuhan ekonomi secara makro namun tidak diimbangi dengan pemerataan dan distribusi pendapatan. Akibatnya yang terjadi adalah terciptanya ketimpangan ekonomi dan sosial. Rezim Orde Baru memiliki pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi secara makro hanya dapat diraih melalui investasi asing pada sektor industri. Sehingga yang terjadi adalah arus modal besar secara kontinyu masuk ke Indonesia dengan berpedoman pada UU Penanaman Modal Asing 1967 (UU PMA 1967).
Masuknya modal besar dalam sektor industri kemudian menciptakan model pertumbuhan berbasis industri di Indonesia. Sebagian kalangan memang berpendapat bahwa manfaat dari masuknya modal asing adalah terciptanya lapangan kerja, mendongkrak pendapatan negara, dan peluang transfer teknologi. Namun pada kenyataannya, masuknya modal asing justru menimbulkan apa yang disebut sebagai ketergantungan modal asing. Di level bawah, lapangan kerja yang dijanjikan tidak tercapai, rakyat masih miskin sebab orientasi pemerintah masih kepada industri dan ekonomi makro, dan utang luar negeri yang kian menumpuk. Hal ini juga sejalan dengan yang disampaikan Hariman Siregar dalam pledoinya dalam pengadilan.
Mengapa Jepang?
Ketika menulis ini, ingatan saya kembali ke beberapa semester lalu ketika saya dalam suatu kelas perkuliahan dikagetkan dengan kedatangan dua orang staff Konsulat Jepang di Surabaya untuk mengisi kuliah tamu. Alih-alih kuliah tamu, kami, mahasiswa peserta kelas tersebut kemudian diberi angket yang kurang lebih isinya adalah pertanyaan-pertanyaan unutk menggali seberapa dalam pengetahuan kami tentang Malari. Lalu di akhir sesi angket tersebut, kedua staff ini kemudian memaparkan presentasi tentang bagaimana hubungan bilateral Indonesia-Jepang dan kerjasama antar kedua negara. Serta tak lupa penjelasan soal Peristiwa Malari versi mereka yang kurang lebih menjelaskan bahwa Peristiwa Malari adalah sebuah kesalahpahaman dan harusnya tidak ada alasan untuk membenci Jepang dan segala aktivitas bisnisnya di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Peristiwa Malari menjadi perhatian pemerintah Jepang.
Kembali pada penjelasan model ekonomi terbuka yang menjadi prioritas rezim Orde Baru. Model ekonomi terbuka ini tentu saja ditujukan untuk berbagai negara dengan modal melimpah di luar sana. Ada banyak negara-negara yang siap untuk menanamkan investasi di Indonesia. Tentu saja dengan jumlah yang volume dan nilai yang sama atau bahkan lebih besar dari Jepang. Tapi pertanyaannya kemudian mengapa Jepang yang menjadi sasaran Aksi Malari 1974? Pengamat ekonomi Rizal Malarangeng berpendapat bahwa dalam hal ini yang menjadi investasi Jepang di Indonesia pada waktu itu memang lebih bisa dilihat dan dirasakan dampaknya oleh publik. Jepang berinvestasi pada sektor otomotif, industri transportasi, makanan, elektronik, dan bahan konsumsi lain. Hal ini yang kemudian menjadikan industri Jepang lebih dikenal publik daripada investasi negara lain yang lebih kepada sektor pertambangan dan perkebunan. Investasi Jepang pada sektor yang masuk ke dalam kehidupan keseharian rakyat Indonesia pada waktu itu membentuk pola baru konsumerisme rakyat Indonesia. Alasan lain adalah bahwa kedatangan PM Tanaka Kakuei ke Jepang menjadi momen bahwa rakyat dan mahasiswa menolak bentuk-bentuk dominasi Jepang dan kapitalisasi global pada ekonomi Indonesia.
Kunjungan PM Abe dan Kerjasama Indonesia-Jepang
Dalam disiplin Hubungan Internasional, dipahami bahwa kunjungan kenegaraaan oleh kepala pemerintahan sebuah negara menjadi bukti adanya hubungan diplomatik yang erat. Tentunya, kunjungan seorang Menteri Negara berbeda dengan kunjungan Perdana Menteri. Kunjungan seorang kepala negara dapat dipahami sebagai sebuah intensi kuat dalam kerjasama dan urgensitas agenda pembahasan kerjasama. Seperti yang dimuat koran Kompas edisi 16 Januari 2016, kunjungan PM Abe kali ini secara spesifik membahas agenda kerjasama ekonomi khususnya bidang infrastruktur, transportasi, dan maritim antara kedua negara.[2] Tidak tanggung-tanggung delegasi Jepang yang dipimpin oleh Abe beranggotakan 30 CEO perusahaan-perusahaan Jepang.[3] Sementara itu, presiden Jokowi juga menyertakan menteri-menteri utama untuk mendampinginya. Antara lain adalah: Menko Perekonomian, Menko Kemaritiman, Menkopolhukam, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan, Menteri ESDM, Menteri Kelautan dan Perikananan.
Salah satu proyek kerjasama yang akan dilaksanakan tahun ini adalah pembangunan Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang, Jawa Barat yang membutuhkan dana hingga Rp. 43,22 trilliun. Kerjasama lain adalah pengembangan blok Masela dan pengembangan kereta api semicepat Jakarta-Surabaya.[4] Di bidang martim, kedua pemimpin negara juga mendiskusikan tentang kemungkinan kerjasama pembangunan sentra kelautan dan perikanan di pulau-pulau terdepan di Indonesia. Secara umum, Jepang telah menyiapkan investasi sebesar 74 miliar Yen untuk pembangunan irigasi dan konservasi pantai. Dengan ini Jokowi juga berharap bahwa Jepang akan memberikan akses kepada Indonesia untuk produk perikanan dan pertanian. Dalam kesempatan ini Abe juga menjanjikan infrastruktur berkualitas tinggi untuk proyek-proyek kerjasama Indonesia-Jepang khususnya yang berkenaan dengan infrastruktur.
Jika ditinjau lebih lanjut bahwa kerjasama Indonesia-Jepang era Jokowi ini nampaknya tidak jauh berbeda dari yang diambil di masa lalu. Sebab jika dilihat dari orientasi pertumbuhan ekonomi yang diambil, pemerintahan Jokowi masih tetap menjadikan pertumbuhan ekonomi makro sebagai prioritas. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kepentingan ekonomi global di Indonesia tidak sama sekali berubah atau berkurang namun justru semakin intensif. Pemerintahan Jokowi berpandangan bahwa pertumbuhan sektor makro yang diraih melalui investasi infrastruktur akan mendongkrak pertumbuhan di tingkat mikro. Jika memang demikian yang harus dipahami adalah bagaimana kemudian mengkoneksikan pertumbuhan ekonomi di tingkat makro dan mikro. Sebab merealisasikan konsep trickle down economichingga lapisan masyarakat bawah tidaklah mudah. Serta potensi ketergantungan modal asing yang akan mengancam dan merugikan perekonomian bangsa di masa depan. Peristiwa Malari tentunya dapat menjadi pelajaran bagi pemerintahan Jokowi untuk dapat lebih berhati-hati dalam membangun kerjasama investasi asing. Sebab rakyat dan kaum intelektual tidak menutup mata atas segala gerak-gerik pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan.