Mohon tunggu...
Rudyanto Rijadi
Rudyanto Rijadi Mohon Tunggu... profesional -

Pengrajin Arsitektur dan Interior, domisili di Sawangan Depok dan Denpasar

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Ayo Lewati Macet Jakarta dengan Sepeda!

14 November 2013   12:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:11 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Salam Sejahtera Kompasianers!

Bukanlah hal yang tidak masuk akal lagi jika Jakarta menuju Traffic Deadlock 2014. Regulasi LCGC yang konyol sudah disahkan, dan kredit mobil semakin mudah. Apalagi saat ini aturan mobil pribadi dilarang masuk jalur Trans Jakarta kembali ditegaskan. Hasilnya, selama 2 minggu terakhir ini sepanjang jalan yang dilewati Trans Jakarta, macet berat, mobil pribadi berdesakan di jalurnya.

Tentu aturan ini harus didukung ( kecuali untuk LCGC ) meski berat dijalani, karena memang sudah sangat terlambat negara kita membangun infrastruktur transportasi ibukota, dan kini kita memasuki fase 'kesadaran'. Saya mengajak para pembaca untuk mensiasati hal ini dengan mandiri, dan sehat, yakni mengkombinasikan moda transportasi. Penulis sarankan kombinasi antara sepeda kayuh dan mobil atau sepeda motor. Penulis kurang menyarankan angkutan umum karena mereka bergerak dijalan yang sama, sehingga menjadi penumpang mereka sama saja menjadi korban kemacetan, kecuali jika anda tidak diburu waktu. Saat ini penulis menjalani aktivitas kombinasi mobil - sepeda ini dan mendapatkan manfaat yang baik, yakni tidak stress kena macet, tiba tepat waktu, dan InsyaAllaah sehat.

Jika pembaca tinggal diwilayah Sub Urban macam Depok, Serpong, Bintaro, Bekasi dan beraktifitas di Jakarta, anda bisa mengangkut sepeda anda ke dalam mobil/sepeda motor, lalu kendarai mobil/sepeda motor anda di jalur reguler hingga sampai di jalur yang mulai macet. Disaat itu, tentukan titik parkir yang termurah, misal masjid, kantor polisi, kantor tentara dan sebagainya, intinya jangan cari parkir yang dihitung per-jam. Borongan sajalah, misal dari pagi hingga sore 10 ribu. Jika anda mampu menjalin komunikasi dengan baik, maka dapatlah titik itu menjadi langganan.

Kemudian, kendarai sepeda anda menuju lokasi aktifitas. Jika anda adalah karyawan yang reguler jam kerjanya, maka aktivitas ini bisa sangat terukur target jadwalnya. Jika ada seorang pebisnis yang tidak reguler titik aktifitasnya, rencanakanlah banyak titik parkir yang strategis menuju tujuan anda.

Semua harus dengan latihan. Hari ini titik parkir mungkin 5 km dari kantor, minggu depan 7 km, berikutnya 10 km dan seterusnya. Mungkin minggu ini hanya 1 kali melakukannya, minggu depan 2x, berikutnya bertambah sedikit demi sedikit. Semua harus dijalani dengan tahapan. Yang penting berkesinambungan.

Jangan lupa untuk selalu membawa baju ganti, dan alat mandi. Pakailah selalu helm, sarung tangan, baju dengan penutup lengan, kacamata, dan pelindung lain yang dirasa perlu. Repot?  Jika anda ingat kemacetan, maka "repot" ini adalah nilai bayaran yang setimpal untuk menggantikan ongkos moral kena macet.

Jika anda belum punya sepeda, hal ini tidak membutuhkan biaya besar. Sepeda bisa mulai dari ratusan ribu hingga ratusan juta. Tentu anda bisa mengukur kemampuan. Beli bekas di Pasar Rumput pun tersedia. Beli dengan kartu kredit di hypermarket pun ada. Penulis menyarankan agar menggunakan sepeda lipat, karena praktis ( meski penulis saat ini tidak memilikinya, penulis menggunakan MTB ) Sepeda lipat pun bisa masuk ke KA Commuter Line, meski pasti mengganggu kenyamanan penumpang lain, tapi jika anda cukup terampil, anda bisa meletakkan di kompartemen barang diatas tempat duduk.

Sebagai penduduk metropolitan, sangat ketinggalan jaman jika kita hanya bisa komplain dengan pelayanan publik, merasa menjadi korban, namun tidak berpikir solusi jangka pendek untuk diri sendiri. Sebagaimana yang kita sering lihat ribuan keluhan macet di sosial media, yang disuarakan oleh orang yang berkontribusi menambah beban jalan. Masak kita mau jadi seperti mereka? Sembari kita menunggu infrastruktur jalan dan angkutan umum menjadi nyaman, kita olahraga saja! Kalo kita keburu tua dan pensiun, biar anak cucu kita yang dapat manfaatnya, bahkan kita akan menua dengan sehat. Move On Pembaca!

Selamat Siang Kompasianers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun