Mohon tunggu...
Coach Rudy Ronald Sianturi
Coach Rudy Ronald Sianturi Mohon Tunggu... -

Terapis Klinis, CoachWriter, Trainer & Motivator

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ya, Ahok Memang Cina!

2 Desember 2012   10:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:18 3250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagaimana harus mengerti gebrakan-gebrakan Ahok dengan latar belakang etnis Ahok yang Tionghoa alias Cina itu? Walau beliau masih jauh harus melangkah untuk membuktikan integritas pribadi, kharisma kepemimpinan serta kecerdikan birokrasi, apalagi kalau harus dibandingkan dengan tokoh besar dalam sejarah dunia, kiranya secara wacana layak kita sebagai bagian dari rakyat jelata untuk mengambil sekelumit saripati ilmu dari Cina, negeri leluhur Ahok  .

Sebelum kita lanjutkan, penting ditegaskan bahwa proses berpikir ini tidak mengasumsikan bahwa Cina Indonesia itu belum Indonesia seratus persen. Sebaliknya, istilah ‘warga keturunan’ adalah misnomer alias sebuah kesalahan konseptual karena, sebagai yang sudah berurat-akar di Republik ini apalagi mereka yang berasal dari Bangka-Belitung, misalnya, Cina Indonesia berhak cukup disebut orang Indonesia asli sebagaimana etnis-etnis lainnya – karena bukannya nyaris semua suku di Indonesia tadinya adalah warga pendatang dari luar Nusantara?

Sebagian besar orang pasti masih ingat saat Cina masih seujung kuku identik dengan kemiskinan, bencana alam dan teknologi kelas kambing. Kemudian orang terbangun terheran-heran mendapati Cina yang mendadak luar biasa, maju pesat dan menguasai pasar global dan menghentak dengan teknologi. Awalnya tentu banyak cibiran seperti produk tiruan, kelas murahan dan untuk golongan kelas bawah. Tapi Cina cepat belajar memperbaiki dan dengan segera menempatkan diri sejajar dengan banyak negara terkemuka. Sekarang, terlepas dengan  berbagai permasalahan lingkungan, politik dan kecurangan sejumlah produknya, Cina adalah super power yang menggentarkan dan sangat disegani baik secara ekonomi, teknologi, militer dan budaya.

Contoh sederhana saja Cina adalah negara ketiga yang mampu secara mandiri mengirimkan orangnya keluar gravitasi bumi bahkan sedang mengembangkan stasiun luar angkasa, yang mampu memproduksi jet tempur generasi ke lima, yang sanggup menyelenggarakan olimpia dengan pembukaan dan penutupan yang memaksa Inggris mengerahkan segala daya mengimbanginya dalam Olimpia London kemarin, yang menguasai teknologi dan pasar super komputer termasuk menjadi begitu terkemuka dengan teknologi sekuensi genomik dan yang membantu ekonomi Amerika yang kini terseok-seok.

Bukan tempatnya untuk membicarakan faktor-faktor yang menyumbang perubahan radikal ini. Tapi semua ini tak terlepas dari satu nama, satu pribadi, yang turut mewarnai naik-turun politik Cina, yang digelari ‘ensiklopedia berjalan’ namun juga sempat dua kali ganasnya kejatuhan politik – dibuang oleh Ketua Mao, mentornya sendiri,  yang kemudian dengan kemauan raksasa mentransformasi diri dan karenanya Cina: Deng Xioping.

Naik kedua kali ke panggung politik, Juli 1977, dia kemudian secara radikal menghancurkan semua kultus irasional terhadap sang mentor yang nyaris total menghancurkan Cina dengan program-program sosialis orthodox seperti pertanian kolektif dan revolusi budaya (1966-1976). Sadar bahwa ekonomi Cina tinggal secuil langkah di tubir kehancuran, kalau sebelumnya petani diatur negara, ia kini memberi kebebasan bagi petani untuk menjual produknya ke pasar, membuka Cina terhadap pasar internasional dan menarik investasi, mendorong mahasiswa-mahasiswa Cina mempelajari teknologi terkini di mana tempat termaju untuk dibawa pulang, dan masih begitu banyak lagi. Terbukalah kota-kota pesisir – yang kini adalah kota-kota penting di dunia -- yang memeluk model ekonomi kapitalisme Barat namun dengan tetap menjalankan sistem sosialis: kapitalisme dengan karakteristik Cina.

Deng seorang yang pragmatis dalam arti memeluk falsafah dan melakukan tindakan-tindakan praktis sejauh itu membawa manfaat yang lebih besar. Cintanya pada bangsa dan negara melebihi cintanya pada paham Maoisme usang yang sudah terbukti menghancurkan fundasi ekonomi politik dan modal budaya bangsa Cina. Tak bisa tidak, harus diubah, harus bertindak, harus berani menyeruak dari kerumunan untuk mengambil alih obor kepemimpinan, berani membawa terang.

Satu kalimatnya di 1961 yang sangat termasyur sekaligus dianggap bidaah oleh mentor Mao dan melemparnya ke dalam api permusuhan adalah: ‘tak peduli kucingnya hitam atau putih sejauh ia bisa menangkap tikus’. Dengan paham ini, Deng tak peduli bahkan bila sistem ekonominya harus dari Barat yang notabene adalah musuh kebuyutan Cina, sejauh Cina kembali berjalan dengan dagu tegak sebagai bangsa bermartabat dan bangga dengan kebesaran sejarah yang masih terus ditorehkan hingga detik ini.

Inilah cikal-bakal Cina yang sekarang begitu perkasa seakan disulap dalam semalam. Negeri seluas benua, penduduk terpadat di dunia, kekayaan alam melimpah, pasokan talenta tanpa henti, akan sia-sia tanpa kepemimpinan yang pro rakyat berbasis nasionalisme tak bisa dibeli dengan iming-iming harta, kekasih gelap dan kehormatan palsu.

Ahok jelas belum boleh apalagi layak disandingkan bersisian Deng Xioping. Tapi tindakan-tindakan Ahok mencerminkan kekuatan jiwa besar yang hanya ingin melakukan segala hal yang mungkin untuk membuat situasi yang kacau menjadi teratur, yang penuh mark-up menjadi rasional dan bisa dipertanggungjawabkan, yang menginginkan revitalisasi sumber daya publik dan modal budaya ragam komunitas Jakarta, yang bangga apabila orang menyebut namanya karena berbuat sebagai pemimpin, yang berani mengubah pola kerja menuju good governance di tengah cibiran sebagian orang.

Kalau ada yang menyebut Ahok politisi kutu loncat, hal ini bisa diperdebatkan semalam suntuk dan sahih belaka dalam proses demokrasi. Tapi satu hal yang terpenting adalah: ‘tak peduli Ahok itu jenis kucing manapun, bahkan apabila kucing bulu kuning, sejauh dia (membantu) melumat habis tikus-tikus penggerogot uang rakyat, sejauh ia meluluhlantakkan kemerosotan akhlak seraya angkat kembali paham nasionalisme di Republik ini, sehingga tentram rumah bersama DKI Jakarta yang menyinarkan tauladan kepemimpinan bagi provinsi-provinsi lain, dia mendapat dukungan penuh dari rakyat yang sudah bosan Indonesia menjadi pecundang!’

Ya, Ahok memang Cina!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun