Agama tanpa otokritik, apa bedanya dengan fasisme?
Cukup sering dapati sebagian Muslim yang kuatir bila sesama Muslim bersikap kriris terhadap Islam, maka non-Muslim akan berpikir negatif tentang agamanya. Benarkah semudah itu?
Saya Kristen dan saya tidak bakal berburuk prasangka sama Muslim apabila membaca demikian; bahkan bilapun ada tulisan siapa gitu yang terang-terangan menghina pun. Kan saya punya penalaran sendiri.
Maksud saya, tulisan yang mengkritisi agama sebenarnya bagus bahkan perlu untuk mengguncang cara pikir yang terlalu literal dan dogmatis. Nadanya boleh sarkastis dan sarkasme memang penting apalagi dalam konteks Indonesia yang suka mendewa-dewakan ritual dan kesalehan skriptural, namun lalai memelihara teladan hidup yang lebih bermakna.
Contoh kasus adalah seorang sahabatku. Dia seorang Muslim kritis, sangat terpelajar dan aktivis. Ia bahkan menulis tentang sejarah kelam Kekristenan, khususnya yang di Barat, yang penuh dengan hawa fasisme, penyiksaan bahkan pembunuhan. Memang pernah terjadi demikian. Gereja sudah lama menyadari, mengakui dan meminta maaf atas dosa-dosa historis ini.
Giliran beliau menurunkan tulisan agak nakal terkait Islam, ada sejumlah komentar takut kalau non-Islam bakal menganggap buruk Islam. Bahkan beliau dianggap beda sama Muslim kebanyakan yang katanya tidak suka menjelek-jelekkan agamanya.
Saya yakin ketakutan ini tidak berdasar.
Saya tidak melihat ada upaya apapun untuk merusak nama baik Islam. Tulisan dia cerdas dan sejuk. Malahan bakal mengangkat citra Islam dalam benak saya karena saya tahu ada orang-orang Islam yang paham dan teliti melakukan olah ilmu, otokritik dan menghargai (perlunya) perbedaan.
Tapi ketakutan seperti di atas bisa dialami 'sangat nyata' bagi seseorang. Dan itu berbahaya!
Tembus, tembuslah rasa takut.
Rasa takut adalah strategi yang paling dimanfaatkan kelompok-kelompok intoleran untuk membelah kita. Takut dianggap buruk, takut tertinggal, takut dizolimin.