Hembusan angin yg deras menerpa wajahku saat Saya menjulurkan kepala keluar melihat rangkaian panjang gerbong dari pintu gerbong, kedua tanganku memegang  erat lengan bapakku yg sedang memelukku,  takut juga saya terjatuh dari pintu, cepatnya pemandangan sawah dan pohon2 yang dilewati oleh kereta api tujuan Medan-TJ Balai, Indah sekali. Saat itu saya baru berusia tujuh tahun, baru kelas 1 SD, kami sekeluarga bersama tante2ku serta sepupuku juga dalam perjalanan ke Kisaran menemui kakekku, Sebagai anak2 , saya ingat saat itu bersama sepupuku  serta kakakku merasa seperti berada dalam sebuah kelas yg bergerak, kami berlarian di antara bangku2  , tertawa riang, menjelajahi  gerbong  tersebut, dari ujung pintu depan ke pintu belakang, sesekali terdengar panggilan dari Ibu kita masing2 agar kembali duduk dan tidak mengganggu penumpang lain,Â
Kami baru berhenti bermain saat merasa kereta api tersebut melambat dan kembali duduk di bangku yang saling berhadapan, terdengar  Ibuku dan tanteku berseru bahwa kita sudah sampai stasiun tebing tinggi, mereka berharap semoga saja tidak terlalu lama berhenti menunggu kedatangan kereta api lainnya dari arah Tj Balai, karena masih sistem Rel tunggal, maka kereta api yang Saya tumpangi wajib berbagi dan menunggu Kereta api arah sebaliknya tiba sebelum melanjutkan perjalanannya dan berhenti di stasiun pembantu selanjutnya. Saya dan Kakakku serta sepupu2ku kembali duduk dan tidak sabar menunggu Kereta Api tersebut berhenti total di Stasiun, karena saat itu akan naik para pedagang asongan ke dalam gerbong juga tawaran dari jendela gerbong yang kala itu terbuka separuh dibagian atasnya.
"Pecal. Pecal, sate kerang"
" Telur Rebus... Telur"
" Kue.. Kue..Pisang Goreng"
"Es..es Ganefo"
Para Pedagang Asongan saling berteriak menjajakan produk mereka, yang diluar maupun yang didalam gerbong.
"Mama..mama ..sate ma,.....aku mau sate"Â
Saya merengek sama  Ibuku untuk dibelikan sate kerang, seorang Pedagang asongan lalu merapat ke bangku Kami, dia lalu jongkok dan membuka baskom bawaan dia, masih ingat olehku saat itu mereka belum gunakan plastik untuk menutup, tetapi kumpulan daun yang disatukan dengan lidi. Selain menjual Sate, dia juga ada menjual pecal dan kue getuk, dengan daun yang dipincuk pedagang asongan tersebut lalu mengambil sejumlah sate pesanan ibu dan tanteku, mereka juga belanja beberapa macam kue, seperti Getuk, peyek dan lainhya. Saya lalu diberikan oleh Ibuku setusuk sate kerang dan sebuah es ganefo, Saya duduk di antara ibuku dan Kakakku, Kunikmati jajanan tersebut tertawa riang bersama sepupuku  sambil sesekali kami membandingkan warna es ganefo kita.Â
Sesaat kemudian terdengar lengkingan pluit dan kulihat semua pedagang asongan tersebut turun dan perlahan kurasakan gerbong kami mulai bergerak meninggalkan Stasiun. Seingatku dulu butuh waktu sekitar 5 jam lebih tiba di kota kelahiran bapakku, jadi biasanya Ibu dan Tante2ku menyediakan bekal, kala saat makan tiba, Ibu dan tante2ku menyiapkan makanan untuk bapak dan paman2ku yg duduk dibangku depan kami, yah memang biasanya sengaja berpencar antara pria dan wanita, mungkin lebih cocok topik obrolan mereka masing2. saya disuapi oleh Ibuku karena kondisi Gerbong yang terguncang menyulitkan saya makan,Â
Kereta Api yang saat itu masih dengan bantalan Rel dari Kayu ,maka sangat kuat terasa goncangan dan suara terantuknya sambungan baja Rel dengan Roda baja Gerbong sangat terasa sekali dalam Gerbong. Kondisi toilet gerbong zaman tersebut juga kotor dan bau pesing walaupun dari lobang kloset tersebut langsung terlihat kerikil dan bantalan Rel kayu bawah gerbong, terkadang jika ada yg sedang menggunakan toilet tersebut Bapakku lalu membawaku kepintu gerbong yg selalu terbuka, memelukku dan diriku  yg saat itu masih kecil tanpa malu membuka celana dan langsung melepaskan pipisku yg terbawa oleh angin.