Ade Komarudin pada awal menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan kebijakan pelarangan kunjungan ke luar negeri yang berimplikasi pada penghematan anggaran negara Rp 159 Milyar. Selain itu, Pria yang akrab disapa Akom itu mengurangi masa reses yang tujuannya untuk menggenjot kinerja DPR di bidang legislasi, mengejar target prolegnas yang sudah disahkan dalam paripurna sekaligus untuk menutupi capaian legislasi pada kepemimpinan sebelumnya di bawah pimpinan Setya Novanto yang hanya menelurkan tiga Undang-Undang.
Baru-baru ini ada berita yang mengungkapkan bahwa Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI mengeluarkan surat tugas kepada anggotanya untuk melakukan studi banding ke Amerika Serikat dalam rangka melihat parlemen modern. Diketahui, Anggota BURT berangkat studi banding ke Amerika Serikat mulai tanggal 29 Februari sampai dengan 6 Maret 2016.
Inti dari pemberitaan tersebut adalah ingin menyerang Akom selaku ketua DPR terkait dengan kebijakan yang dinyatakannya. Akom langsung dijadikan sebagai sasaran empuk, bahkan disebutkan bahwa itu adalah bentuk pengingkaran janji dan ketidak konsistenan seorang Ketua DPR.
Bagi penulis, itu adalah pernyataan yang naif dengan logika yang loncat terlalu tinggi bahkan tendensius, karena terlalu cepat mengambil kesimpulan dan menjustifikasi. Dan kecurigaan saya, ini juga adalah salah satu rangkaian kampanye hitam yang ditujukan kepada Akom terkait dengan pertarungan calon ketua umum di Partai Golkar menjelang Musyawarah Nasional (Munas).
Kebijakan atau program seorang pimpinan lembaga itu bersifat sistemik. Artinya, suatu kebijakan pasti melalui tahapan-tahapan tertentu, tidak melulu semua program yang dijalankan oleh alat kelengkapan suatu lembaga negara ketika itu tidak sesuai dengan kepentingan rakyat yang disalahkan adalah pimpinan atau ketua dari lembaga tersebut. Begitu pula dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebuah kebijakan tentu punya sistem dan alur realisasinya. Ada yang berjalan sesuai dengan perencanaan awal, dan ada juga yang tidak berjalan dengan sempurna. Itulah mengapa dalam sebuah lembaga ada proses evaluasi terhadap kebijakan dan program yang direalisasikan, guna menguji mana yang sudah berjalan dengan baik, yang kurang, atau belum berjalan sesuai rencana.
Menurut penulis, ketidaksesuaian antara kebijakan awal dan realisasinya tidak harus dikatakan sebagai kegagalan apalagi inkonsisten atau bentuk ingkar janji, tapi harus dilihat sebagai sebuah proses yang tentunya akan berjalan secara sistemik sebagai sebuah lembaga negara yang berintegritas. Kebijakan dan Program prioritas Presiden saja banyak yang tidak terlaksana dengan baik dan itu akan menjadi bahan evaluasi berikutnya.
Apalagi kebijakan yang dikeluarkan Akom yakni, pelarangan kunjungan ke luar negeri dan pengurangan masa reses merupakan gebrakan luar biasa yang pantas diapresiasi. Substansi dari kebijakan itu adalah upaya untuk penghematan anggaran dan efektivitas kinerja DPR di bidang legislasi.
Namun, kebijan itu harus diakui tidak dapat berjalan mulus bagaikan berkendara di jalan tol. Kebijakan-kebijakan Ketua DPR membutuhkan dukungan dari segala pihak terutama civil society. Kita harus pahami bahwa gebrakan seperti itu adalah sebuah jalan terjal yang harus dilalui dengan proses dinamika yang tidak sederhana, bukan malah menghakimi.
Logika-logika dekonstruksi dan pernyataan-pernyataan menjatuhkan seperti itu harus diminimalisir. Lebih baik berbicara yang konstruktif untuk perbaikan dan kemajuan Bangsa Indonesia kita tercinta ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H