Mohon tunggu...
Rudi Darma
Rudi Darma Mohon Tunggu... Administrasi - pemuda senang berkarya

pemuda yang menjadi dirinya di kampung halaman

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pilkada Sehari untuk Persatuan Selamanya

29 November 2024   20:18 Diperbarui: 29 November 2024   20:18 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada sudah lewat, namun rasanya masih banyak catatan yang bisa ditulis dalam konteks perhelatan politik daerah itu. Layak dicatat karena Pilkada ini meliputi 37 provinsi, dan ratusan kabupaten kota dan kotamadya. Jarak anatara Pilpres, Pileg dan Pilkada ini memang tidak terlampau jauh, yaitu sekitar sembilan bulan.

Pilpres yang gempita itu memang akhirnya dimenangkan oleh Prabowo Subianto, seorang yang pernah mencalonkan diri sebagai Presiden sebanyak empat kali. Angka 58% adalah angka yang menyakinkan sebagai pasangan pemenang, jauh mengungguli kandidat lain yang diajukan oleh partai terbesar di Indonesia yaitu PDIP.

Pasca Pilpres kita banyak mendengar kekecewaan yang amat dalam dari PDIP yang intinya menyerang mantan Presiden RI ke tujuh yaitu Joko Widodo, yang dianggap berkhianat terhadap partai yang membesarkannya sampai pada soal anaknya yang menjadi Wakil Presiden. Narasi-narasi kebencian yang disuarakan oleh Sekjen PDIP dan teramplifikasikan oleh banyak orang terutama para intelektual dan aktivis yang sering menyuarakan bahwa Pilpres berjalan tidak adil.

Meski di skala lebih kecil, ujaran kebencian terulang lagi. Seminggu sebelum Pilkada dinamika politik menunjukkan gejala tidak sehat. Lima Provinsi yang dipantau oleh Aliansi Jurnalis Independen menunjukkan Pilkada Jawa Barat menjadi yang paling banyak terdapat ujaran kebencian dengan jumlah 204. Kemudian disusul Maluku Utara (159), Aceh (98), Nusa Tenggara Barat (80), dan Sumatera Barat (14).

Sebagai negara yang beragam, Indonesia memang tak lepas dari ancaman disintegrasi bangsa. Pada skala yang lebih sederhana adalah polarisasi yang disebabkan oleh politik seperti perhelatan politik lima tahunan ini. Perbedaan pandangan politik di tingkat masyarkat seringkali menimbulkan konflik terbuka. Kita bisa melihat hal itu saat Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Ada cebong kampret yang tidak mudah untuk dimusnahkan dari kepala berbulan setelah pilpres usai.

Pada pilpres kali ini kita melihat masih banyak narasi narasi seperti anak abah (Anies ) dan anak Mulyono (Joko Widodo) Bahkan di podcast-podcast dan di media televisi, dua pihak sering dihadapkan, sehingga tak jarang menciptakan konflik verbal yang merusak persatuan, baik di tingkat bangsa, lokal maupun keluarga. Padahal ini jauh dari esensi demokrasi.

Harus ada kesadaran bersama untuk berprespektif harmoni dan menjaga persatuan bangsa dibanding berkonflik karena berbeda pilihan untuk kontestasi sesaat seperti Pilkada. Harusa ada peran aktif semua pihak untuk mewujudkannya. Hanya dengan demikian, perbedaan dapat menjadi kekuatan yang memperkaya demokrasi, bukan ancaman yang memecah-belah bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun