Baru-baru ini kita melihat terjadi polemic atas salam lintas agama. Menurut Ijtima Ulama, ada fatwa yang mengharamkan dalam arti tidak menganggap salam lintas agama sebagai toleransi . Menurut MUI, salam lintas agama itu adalah doa yang bersifat ritual (ibadah). Menurut mereka, itu tidak bisa dicampuradukkan antar agama.
Namun dalam pernyataan tersebut, Â MUI yang mengeluarkan fatwa tersebut, MUI mendukung toleransi asal tidak masuk ke ranah ibadah, apalagi akidah. Hal ini yang harus kit acari titik temunya karena jika kita datang ke acara-acara pemerintahan, salam lintas agamalah yang disebutkan. Itu sudah terjadi sekitar sepuluh tahun lalu.
Jika kita ingat, salah yang diwarnai dengan salam agama yaitu Assalamualaikum, muncul pada saat pemerintahan Presiden Soeharto yang pada saat itu mulai merangkul umat Islam. Secara politik, Soeharto melihat bahwa Islam punya potensi kekuatan yang sangat besar. Hanya saja kebijakan-kebijakan yang dibuat Soeharto sendirilah, kekuatan itu seakan direpresi.
Secara politik, kita melihat beberapa partai besar diringkas Soeharto menjadi tiga partai saja. Kekuatan Islam ada di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lalu Golkar yang diisi oleh seluruh PNS non militer di Indonesia dan kemudian PDI yang berisikan beberapa partai yang sebelumnya bertarung di Pemilu tahun 1971.
Pada masa itu, Assalamualaikum seakan menjadi salam tetap saat ada agara-acara resmi pada masa itu. Namun memang seakan tidak menghitung apakah audiensnya hanya islam saja atau berbagai agama.
Seiring perkembangan zaman, tepatnya pasca reformasi, salam itu berkembang menjadi salam lintas agama. Salam itu dimaksudkan untuk mengakomodir umat lain dalam satu acara. Karena itu tidak heran kita sering mendengar salam agama Islam, lalu salam agama Kristen/Katolik, Hindu bahkan Budha serta Khong Hu Cu. Ini bisa dipahami untuk tidak saja menghargai umat lain, tapi juga dalam rangka rekognisi berbagai agama dan keyakinan pada acara-acara resmi.
Salam lintas agama ini , sejujurnya dilakukan dalam konteks etika sosial saja dan tidak ingin mencampurkan akidah. Relasi sosial akan terasa lebih nyaman, karena masing-masing salam agama disebutkan untuk relasi sosial dan kesopansantunan.
Dan jika polemic itu mengerucut, kitab isa mencari Solusi dengan mencari salam netral, lepas dari agama-agama itu. Salam Pancasila atau selamat Pagi/ Siang atau malam bisa jadi alternatif Solusi mengganti salam lintas agama.
Kita berharap negara kita tetap harmoni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H