Minggu lalu ada berita yang menarik perhatian masyarakat. Berita itu adalah pemeriksaan Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, RS untuk kasus dugaan ujaran kebencian yang bermuatan Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) .
Publik pasti sudah tahu, bahwa ujaran kebencian itu terkait dengan meme stupa Candi Borobudur yang mirip wajah Presiden Joko Widodo. Diketahui bahwa RS pernah mengunggah meme itu di akun media sosialnya, meski kemudian dihapus dan meminta maaf.
Dia berkilah bahwa dia hanya memposting kembali meme yang diposting seseorang sebelumnya (sebagai ekspresi kekesalan karena penetapan tarif masuk Candi Borobudur yang mencapai 750 ribu perorang yang dianggap terlalu mahal -meski kemudian pemerintah membatalkan nilai itu)
Namun kemudian ada warga yang merupakan wakil umat Buddha Indonesia yang melaporkan cuitan RS berupa meme itu ke polisi. Lalu polisi memprosesnya dan kemudian RS diperiksa sebagai tersangka kasus ujaran kebencian.
Penetapan tersangka ini tak main-main, karena sebelumnya aparat kepolisian sudah meminta keterangan (memeriksa) 13 orang saksi ahli ; diantaranya ahli sosiologi hukum, ahli pidana, ahli ITE, ahli Bahasa, ahli agama dan ahli media sosial. Selain 13 orang saksi ahli itu, aparat juga melakukan pemeriksaan terhadap delapan saksi lainnya. Hasil pemeriksaan itu menjadi dasar bagi penyidk untuk menetapkan RS sebagai tersangka.
Dari peristiwa ini kita harusnya bisa belajar banyak. Bahwa kebebasan berekspresi (atas nama demokrasi) itu seharusnya dilakukan dengan baik. Demokrasi bukan berarti bisa berujar semau gue, atau bisa berujar kasar dan menyinggung orang lain apalagi menyinggung hal-hal yang privat dan sensitive. Demokrasi tidak berarti bebas berpendapat tanpa batas.
Warga negara bisa saja tidak setuju dengan kenaikan tarif itu. Ketidaksetujuan itu bisa disalurkan dengan berbagai hal. Menulis di kolom surat kabar, menulis di media sosial dengan santun disertai alasan ketidaksetujuan karena bla-bla.
Tak bisa dipungkiri RS telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan oleh warga, terlebih dia adalah mantan Menteri. Bagaimanapun, Presiden adalah salah satu symbol negara, sama dengan Garuda Pancasila, dan lambang negara lainnya  yang tidak bisa dipakai untuk bahan untuk mengungkapkan rasa benci dll.
Begitupun dengan Candi Borobudur adalah warisan budaya yang sampai sekarangpun masih dipakai sebagai salah satu tempat melaksanakan ritual agama Buddha. Sudah selayaknya dihargai sebagai tempat khusus. Dua hal itu menjadi alasan kuat kenapa RS dijadikan tersangka.
Karena itu, kita harus keluar dari mindset bahwa kita bisa semaunya mengungkapkan pendapat kita. Rasa benci atau tidak suka boleh saja ada, tetapi pengengeloaannya harus baik dan tidak melanggar norma kebangsaan yang ada.