Urip iku Urup. Hidup itu Nyala. Hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain. Sejak dahulu para leluhur mengajarkan agar kita selalu menyebarkan kebaikan bagi sesama. Falsafah ini begitu kuat tertancap, sehingga masyarakat bangsa Indonesia terkenal dengan nilai-nilai keramahan, saling menghargai, pemaaf, penolong terhadap sesama bahkan pada orang yang baru dikenal.Â
Ketika tidak bisa bermanfaat bagi sesama, maka masyarakat bangsa ini berusaha untuk tidak mendatangkan kesusahan bagi yang lain.
Pertanyaan yang cukup menggelitik, di era saat ini apakah falsafah urip iku urup masih dijadikan landasan dan dijalankan?. Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini kita hidup di era tekhnologi digital, dimana ruang maya dianggap lebih real. Hiperrealitas menyerang segala lini kehidupan. Keinginan untuk lebih eksis dari yang lain lebih diutamakan.Â
Konsep silaturahmi secara langsung mulai dilupakan. Begitu banyak masyarakat yang sok pintar dengan mengikuti golongan-golongan baru yang ternyata menanamkan ideologi membahayakan. Mereka, terutama dari kalangan muda mudah tertipu, hanya mengikuti standar mana yang sedang viral.
Perlu kita sadari bersama, ketika kita mulai semakin individualis, melupakan bahwa urip iku urup, maka musuh akan dengan mudah merongrong pertahanan bangsa ini. Mereka pihak yang ingin merubah tatanan sosial dan politik secara drastis (radikal) akan mudah terwujud. Celah untuk pihak yang akan melakukan terorisme akan semakin lebar terbuka, sebab kita lengah.
Menyadari bahayanya ancaman tersebut, maka tak heran jika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengenalkan konsep pendekatan lunak untuk menanggulangi ancaman radikalisme dan terorisme. Konsep soft approach (pendekatan lunak) lebih mengarah kepada bagaimana kita memanusiakan manusia. Soft approach memberikan perhatian lebih kepada para pelaku dan korban terorisme dengan kasih sayang.
Lebih menarik lagi  Soft approach adalah upaya agar kita tetap urup dalam urip. Kita harus turut andil dalam menciptakan keamanan dan perdamaian bangsa Indonesia. Hal ini berarti mencegah upaya tersebarnya paham radikalisme dan aksi terorisme. Bagaimana caranya? Tentu dengan menyebarkan kebaikan sesuai kemampuan kita.Â
Semisal hal yang sederhana, mengajarkan kepada keluarga sendiri tentang cinta tanah air dengan landasan 4 pilar kebangsaan, memberikan pemahaman agama secara baik dan benar. Apabila tidak sanggup melakukan ini, maka minimal yang harus dilakukan adalah komitmen untuk tidak menyusahkan orang lain, dalam artian berprinsip tidak akan hanyut dalam paham radikal, apalagi sampai menjadi pelaku terorisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H