Dimanakah kebenaran itu? Jika ada, seperti apa pengejawantahannya? Apa itu kebenaran dan korelasinya? Apakah kebenaran hanyalah dogma yang berlindung dibalik kata "agama?" ataukah hanyalah narasi untuk melegalkan sesuatu?, kau harus bertanya didalam ruang tafakkurmu. Menciptakan sesuatu yang fundamental dalam memperoleh kesimpulan yang sejati. Menapaki dimensi kompleks dalam  struktur berfikir, serta memproses setiap informasi yang diperoleh. Namun secara eksistensi aqliyah, tingkat kompleksitas dalam bertafakkur bukanlah jawaban yang semestinya, karena tuntunan wahyu dalam ruang tafakkur merupakan hal yang urgen dan patut untuk diperhitungkan.Â
Manusia cenderung liar dalam menapaki ruang tafakkur, berlagak jumawa dengan definisi yang abstrak. Padahal kodrat keberadaan aqliyah itu sendiri tidak mesti berada dalam rel yang sejati. Â Maka dari itu, menghadirkan tuntunan ilahiyah dalam ruang tafakkur merupakan sebuah bentuk dari pencapaian tertinggi seorang manusia. Mengamati, menelaah serta melihat ayat ayat tuhan adalah pondasi dalam strukrur tafakkur, dalam hal ini manusia akan memperoleh keniscayaan yang abadi.Â
Dalam perjalanannya, setiap pertanyaan yang timbul dari tafakkur bukanlah sebuah tuntutan yang mengharuskan terealisasinya sebuah jawaban dan definisi. Karena itu bukanlah tujuan utama dari pengabdian akal dalam memahami ayat ayat llahiyah. Tentunya terlihat paradoks dan absurd bagi kaum orentalis dan liberal, yang selalu berorasi dan memproklamirkan kemerdekaan akal, tanpa harus ada intervensi lain dari apapun dan siapapun. Ironisnya, kesimpulan hasil produksi mereka berseberangan dengan prinsip prinsip akal itu sendiri.Â
"Mari gunakan dimensi tafakkur kita dalam naungan ilahiyah, bukan mengkultuskan akal yang secara hakikat hanyalah produk"
(Hompimpa senja)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H