"Playing victim" tindakan yang sangat tidak sportif. Tidak mau mengakui kesalahan dan justru menimpakan tanggung jawab pada orang lain.
Pelaku "playing victim" memanipulasi kenyataan dengan menggunakan cerita rekayasa untuk mempermainkan emosi orang lain, dengan tujuan mendapatkan simpati dan dukungan. Jalan pintas tanpa modal, yang tidak menunjukkan kerja nyata, tetapi hanya menyalahkan orang lain, menuding, agar publik membenarkan "cerita" yang ia buat-buat.
Tindakan ini menguras emosi orang lain. Sedang enak lihat reel Instagram dan video di Tiktok, tiba-tiba ada video pencopotan spanduk. Meresahkan sekali. Korban sesungguhnya adalah para pengguna Instagram dan Tiktok yang tersita perhatiannya untuk sesuatu yang nggak penting, murung, dan penuh amarah.
Itulah tujuannya. Mencari perhatian publik, merampas waktu orang lain, agar menjadi perbincangan. "Lumayan, paling tidak ada sebagian yang percaya," begitulah tebakan mereka.
Yang tidak mereka perhitungkan, sekarang ini pengguna medsos semakin pintar. Mereka sudah bisa bedakan, mana video yang settingan dan yang tidak.
Mentalitas "playing victim" adalah orang yang tidak berdaya dan tidak berusaha memajukan hidup. Mereka minta dikasihani, dengan cara mengasihani diri sendiri, dan berharap dapat simpati dari orang lain.
Di balik itu, yang tersimpan adalah dendam dan kemarahan. Sering merendahkan orang lain (tim lawan) dan mencari kesalahan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.
Berharap rekomendasi partai datang untuknya, karena itu satu-satunya modal yang akan ia jual kembali kepada publik untuk meraih jabatan.
Jenis permainan, akan menentukan siapa yang layak bertanding. Yang cantik akan dipilih. Yang black campaign, akan ditinggalkan pemilih.
Jika video "playing victim" politik beredar di beranda medsos kamu, langsung pilih "Tidak Tertarik", beri jempol terbalik. Agar medsos bebas dari video meresahkan.(*)
Taman Tabanas Semarang, 06 Juli 2024.