Aku mencoba mencari hikmah dengan mendaki puncak gunung dalam kitab Al-Hikam dari Ibnu Atha’illah, dan justeru aku malah terlempar kedalam jurang ketidak mengertianku.
Aku mencoba mencari hikmah dengan menyelami samudera dalam kitab Al-Ihya’ Ulumuddin dari Al-Ghazali, tetapi pada akhirnya aku harus terseret arus, terdampar dipantai kebingunganku.
Lalu aku datang menemui Rumi, berharap bahwa dia akan memberikan nasehatnya kepadaku.
“ Wahai syech, aku ini seorang musafir yang sedang dahaga, sudilah kiranya engkau memberiku secawan anggur pengusir dahagaku”, pintaku padanya.
Dan dia menjawab melalui syairnya:
“ Kedai minum adalah tempat dimana anggur cinta Ilahi memabukkan para musafir”.
“ Tetapi syech, apakah aku cukup pantas meneguk anggur cinta Ilahi, sedangkan cintaku telah tumpah ruah pada syahwat-syahwat duniawi”, selaku.
Dia bersyair kembali:
“ Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah hidup. Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung pada Hari Perhitungan nanti. Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta, akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapan-Nya “.
“ Duhai syech, dengan cara apa aku membangkitkan gairah cintaku, sebab yang kupunya tinggalah gumpalan-gumpalan nafsu belaka ?”, tanyaku padanya.
Kemudian dia menjelaskan kepadaku: