Jauh hari sebelum ada tol trans jawa, mudik ke Bandung Barat (Cimahi) itu adalah perjuangan. Jika itu jalur darat lewat selatan, itu tantangannya lumayan berat. Setelah ciamis, perjalanan ke utara arah Gunung Malangbong sejauh 52km itu membutuhkan waktu 2 jam. Kenapa? selain medan yang berat, ada destinasi kuliner yang "Wajib" dikunjungi. Rumah Makan Pringsewu adalah brand paling kuat di jamannya. Rumah makan ini tiada lawan di puncak pegunungan Malangbong. Jaraknya masih 88KM ke Cimahi, rumah kami. Media sosial belum se-masif sekarang. Kanapa kami tahu ada Rumah Makan Tengah hutan di puncak Gunung Malangbong?
Kawan, itulah kekuatan strategi brand identity yang dilakukan pemilik Rumah Makan. Sejak dari Ciamis, yang jaraknya 66KM, Rumah Makan ini sudah mulai memasang signage di sepanjang jalan dengan jarak antar sign 2KM. Maka, RM ini membutuhkan paling tidak 66 (kanan kiri) papan signage di sepanjang Ciamis sampai Malangbong. Apa yang ditulis di papan tersebut sangat menjengkelkan bagi yang belum pernah melewatinya. Papan itu bertuliskan, "Sebentar lagi Anda akan memasuki kawasan Rumah Makan Pringsewu".
Diksi ini akan diulang terus dengan kalimat yang berbeda. Jarak beberapa kilo kemudian kalimat yang  digunakan bisa jadi akan menjadi: "Sudah Lapar kah? Bentar lagi sampe kok di Pringsewu".
Padahal jaraknya bisa jadi masih puluhan kilo. Orang menjadi kesal, namun justru itulah yang membuat penasaran seperti apa Rumah Makan itu. Setelah menempuh sekian jam, pelanggan yang 'kepo' tersebut 'terpaksa' untuk berhenti di Rumah Makan tersebut. Selain tenaga habis untuk membaca diksi papan petunjuk, pengemudi juga tidak mungkin melanjutkan perjalanan saat itu juga ke Cimahi yang jaraknya masih 88KM.
Kawan, sekali lagi inilah cerdiknya pelaku usaha Pra-Medsos. Mereka mau berinvestasi ratusan juta di tengah hutan dan puncak gunung untuk 'menjebak' pelangan memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu ISTIRAHAT. Apa yang dilakukan RM ini dengan memasang papan petunjuk yang jumlahnya ratusan adalah sebuah upaya brand identity yang sangat brutal. Sehingga siapapun masuk ke jalur itu, hanya ada satu brand yang ia kenal, "Pringsewu".
So kawan, bagaiamanan dengan bisnis kita? Jika medsos belum mampu meningkatkan brand identity, cara oldschool pun jadi.Â
Kadang kita perlu mundur beberapa langkah dan kemudian menggunakan cara-cara lama untuk memenangkan pertempuran bisnis. Bisnis bukan lagi soal bagaimana menjual produk kita sebanyak mungkin (ini wajib). Namun lebih dari itu adalah bagaimana membuat produk kita lebih dikenal dalam benak pelanggan. Hal ini juga menjawab kenapa ketika kita menyebut air mineral dengan 'aqua', pompa air kita sebut 'sanyo'? Kedua brand itu sangat kuatnya sehingga mampu menjadi padanan kata untuk setiap produk komoditasnya.Â
Pringsewu memang belum menjadi sebuah brand kuat yang menggantikan kata restoran. Namun apa yang dilakukan oleh pengelola restoran tersebut di puncak gunung Malangbong adalah proses menuju ke sana. Terkait apakah akhirnya upaya itu tercapai atau tidak, paling tidak Pringsewu telah punya legacy bahwa restoran di puncak Malangbong adalah Pringsewu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H