Mendengar kata mudik pikiran kita pasti mengarah kepada suasana lebaran dan hari raya keagamaan. Mudik telah menjadi budaya yang mendarah daging bagi masyarakat kita. Budaya Mudik yang luhur dan simpel kini juga telah menjadi kerumitan dan kerumitan itu juga bagian dari mudik sendiri
Esensi Mudik
Mudik bagi sebagian besar masyarakat kita adalah sebuah kerinduan akan kampung halaman. Kerinduan akan suasana rumah serta segala kesunyian dan ketentraman kampung setelah sikian lama bergelut dengan hiruk pikuk kota.
Dalam masyarakat Betawi terdapat kata “mudik” sebagai lawan kata “milir”. Mudik berarti pulang, dan milir berarti pergi. Konon dari sinilah kata “mudik” berasal.
Sementara dalam budaya Arab mudik konon berasal dari kata dho’a yang berarti hilang, dan mudli’ yang berarti orang yang menghilangkan. Maka esennsi mudik bisa dipahami sebagai kembalinya para perantauan setelah sekian lama merasa kehilangan.
Mudik dan budaya
Dalam sudut pandang sosial budaya, mudik diilustrasikan ke dalam sebuah perjalanan pulang ke kampung halaman atau tanah kelahiran.
Dalam proses perjalanan pulang tersebut, mereka membentuk sebuah pengalaman dan kebiasaan yang unik, kepanikan, keriuhan, ketakutan, kesedihan, kebahagiaan yang bercampur menjadi satu.
Keriuhan ini merupakan totalitas masyarakat kita. Totalitas akan sebuah kegiatan yang mungkin substansinya hanya berlangsung 2 hari, namun persiapan mereka bisa lebih dari sebulan.
Dari dimensi psikologis, mudik tidak terbatas kepada merayakan lebaran bersama keluarga, tetapi juga pelepasan diri segala keriuhan dan kerasnya perkotaan.
Sementara itu, dari sudut dimensi sosial, mudik adalah ekspresi dan komunikasi akan kesuksesan. Ia juga merupakan media cerita yang paling pas untuk menggambarkan kesuksesan hidup di perantauan. Sebuah kesuksesan yang digambarkan dalam bentuk gaya hidup, aksesoris, kendaraan dan lain-lain.
Lain cerita, jika memandang dari dimensi spiritual. Jika mudik dipahami sebagai pulang kampung halaman, maka secara spiritual harus juga dipahami sebagai sebuah perjalanan “pulang” ke Ilahi. Dalam kultur Jawa, spirit “pulang” ini dimanifestasikan dalam bentuk ziarah ke makam leluhur.