Terdapat perdebatan paham feminisme terkait penggunaan teknologi, terutama komputer, antara Amerika dan Jerman pada tahun 1997. Perdebatan ini mencakup cyberfeminism dan cyberwomanism, yang memiliki pandangan berbeda terhadap media penyebaran gerakan feminisme mereka.
Gerakan cyberfeminism diwakili oleh First Cyberfeminist International (FCI) di Jerman, yang menganggap internet sebagai tempat untuk mengorganisir kerja-kerja feminisme melalui media di dunia maya. Sementara itu, gerakan cyberwomanism diwakili oleh Million Woman March (MWM) di Amerika Serikat, yang melihat internet sebagai solusi untuk menyebarkan informasi mengenai perampasan hak-hak warga kulit hitam.
Teknologi cenderung dikonstruksikan untuk laki-laki, sementara perempuan dianggap tidak memahami cara kinerja teknologi dan hanya diajarkan cara pengoperasian permukaannya.
Feminist technology studies (FTS) adalah paradigma dalam materialisme yang menekankan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk mempelajari teknologi seperti laki-laki, mengubah narasi patriarki teknologi menjadi netral di depan gender.
Internet dan media sosial menjadi wadah di mana suara perempuan, terutama remaja, dapat ditampung dan didengar. Melalui media blog di internet, para remaja perempuan dapat berpartisipasi menyuarakan pendapat dan mengembangkan gerakan feminisme yang kontemporer.
Kajian feminisme dan digital berfokus pada identitas diri dan representasi identitas melalui internet dan media sosial, serta pandangan para cyberfeminism yang melihat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ranah laki-laki.
Media sosial dianggap efektif dalam menyebarkan informasi secara masif mengenai isu-isu gender, feminisme, seksualitas, dan maskulinitas, sehingga digunakan sebagai cara untuk "belajar" dan mendapatkan informasi mengenai isu-isu tersebut.
Perkembangan media sosial saat ini bukan hanya sebagai tempat untuk berbagi informasi pribadi, tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. Internet yang mengalami perubahan signifikan selama abad ke-21 atau dekade terakhir telah membawa dampak positif terhadap perkembangan media sosial. Stivens (2007) mengemukakan bahwa media sosial memiliki peran kosmopolitanisme, yang menjadi kunci dalam gerakan sosial berdasarkan pemahaman gender.
Menurut Stivens (2007: 93), salah satu upaya feminis untuk mengatasi dekonstruksi feminisme universal yang dipostmodern dan postkolonial adalah dengan menguatkan kembali hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Era postmodern menegaskan kembali permasalahan yang dihadapi feminisme sejak gelombang pertama, di mana perempuan berjuang untuk mendapatkan tempat di panggung politik hingga saat ini dalam era postfeminist.
Dalam era media sosial, pandangan mengenai kesetaraan gender menjadi lebih jelas sebagai sikap politis individu. Judith Butler (1990: 5) telah menyatakan bahwa gender, politik, dan budaya saling terkait dan mendukung eksistensi kesetaraan.